Rabu, 19 Januari 2011

KONTRIBUSI PENDIDIKAN IPA TERHADAP PEMBENTUKAN
SIKAP KEPEMIMPINAN

Pada era globalisasi dewasa ini dan pada masa  mendatang, kebutuhan akan pemimpin bangsa yang professional, mandiri, berjiwa kompetitif, serta taqwa dan beriman, tampaknya tidak dapat ditawar lagi. Sehubungan dengan hal itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki peran yang sangat strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, khususnya dalam menyiapkan pemimpin bangsa yang memiliki visi masa depan.
Pendidikan IPA sebagai salah satu bidang pendidikan, seharusnya berkontribusi dalam membentuk sikap dan masa depan, yang bercirikan profesionalisme, mandiri, kompetitif, serta taqwa dan beriman. Nah, disinilah letak tantangan bagi para pendidik dan calon pendidik pada umumnya, khususnya yang berkecimpung dalam pendidikan IPA, agar pendidikan IPA dapat mengemban misi yang dikemukakan di atas.
Dalam forum seminar ini, mari kita simak bersama mana diantara aspek-aspek dan substansi pendidikan IPA yang perlu kita optimalkan fungsinya, agar pendidikan IPA dapat memberi kontribusi yang tinggi bagi pembentukan dan pengembangan sikap kepemimpinan.

1.    Hakekat IPA dan Hakekat Pendidikan IPA
(1)    Hakekat IPA
Mendefinisikan IPA secara singkat dan sederhana serta dapat diterima secara universal tidaklah mudah. Cobalah anda definisikan sendiri sesuai dengan konsep anda, dan kemudian bandingkan dengan definisi yang dibuat oleh teman-teman anda :
Berikut ini dikemukakan batasan tentang IPA :
1)    Hunger Ford-Volk-Ramsey, mendefinisikan sains :
a.    Merupakan proses dengan mana informasi yang dapat diverifikasi diperoleh melalui metode-metode empiris.
b.    Merupakan informasi yang dihasilkan melalui investigasi yang disusun secara logis dan sistematis.
c.    Merupakan kombinasi dari proses berpikir kritis yang menghasilkan suatu produk informasi yang valid.
2)    Menurut Kurikulum 1994 :
IPA (sains) merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisir tentang alam sekitar yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah.
Proses ini antara lain meliputi penyelidikan, penyusunan, dan pengujian gagasan.
3)    Ratna Wilis Dahar, mendefinisikan sains :
Sebagai kumpulan pengetahuan yang meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori, yang dikenal sebagai produk sains, dan sains sebagai keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, yang dikenal sebagai proses sains.
Jika diperhatikan, ketiga definisi di atas tampaknya sejalan. Bahwa IPA (sains) merupakan kumpulan pengetahuan yang meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori, yang disebut produk sains, dan IPA sebagai keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan yang disebut proses sains. IPA (sains) bukan hanya kumpulan pengetahuan (produk), tetapi lebih dari itu. IPA adalah human interprise yang melibatkan operasi mental, keterampilan, strategi, dan sebagainya yang dirancang manusia untuk menemukan hakekat jagat raya. Jadi, IPA memiliki dua dimensi yaitu sebagai produk dan proses.
IPA (sains) sebagai produk dan proses bukanlah merupakan dua dimensi yang terpisah, namun merupakan dua dimensi yang terjalin erat sebagai satu kesatuan. Proses IPA akan menghasilkan pengetahuan (produk), dan pengetahuan sebagai produk akan memunculkan pertanyaan baru untuk diteliti melalui proses IPA sehingga menghasilkan pengetahuan baru, demikian seterusnya. Hubungan IPA sebagai proses dan IPA sebagai produk dapat digambarkan sebagai berikut :











Gambar 1. Proses-Proses Sains

(2)    Hakekat Pendidikan IPA
Pendidikan IPA merupakan salah satu aspek pendidikan yang menggunakan IPA sebagai alatnya untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pendidikan IPA khususnya. Salah satu sasaran yang dapat dicapai melalui pendidikan IPA adalah “pengertian IPA” itu sendiri. Tujuan utama pendidikan IPA adalah mengembangkan individu yang literasi sains (scientific literacy). Literasi sains ini meliputi pengetahuan tentang sains yaitu konsep dan prinsip ilmiah, hukum-hukum dan teori-teori ilmiah,  serta keterampilan inkuiri. Memiliki pengetahuan yang fundamental tentang IPA adalah sangat esensial untuk membangun manusia yang literasi sains. Individu yang literasi sains memiliki kemampuan untuk menggunakan aspek-aspek fundamental IPA dalam memecahkan masalah dan dalam mengambil keputusan.
Pendidikan IPA pada hakekatnya tidak hanya ditujukan untuk membekali subjek didik dengan pengetahuan dan keterampilan proses IPA, tetapi juga untuk menanamkan sikap dan nilai-nilai. Jadi, pendidikan IPA dapat digunakan sebagai wahana transformasi nilai-nilai yang selama masih kurang dapat perhatian para guru IPA. Dengan demikian, pada hakekatnya pendidikan IPA sangat efektif untuk digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan ketiga domain tujuan pendidikan yaitu kognitif, psikomotor, dan afektif.

2.    Kepemimpinan dan Prinsip-prinsip Kepemimpinan
Pemimpin (leader) dan kepemimpinan (leadership) merupakan suatu kesatuan kata yang tidak dapat dipisahkan baik secara structural maupun secara fungsional. Kepemimpinan tampaknya lebih merupakan suatu konsep yang didasarkan atas pengalaman. Di dalam kepemimpinan selalu terdapat pemimpin yang mempengaruhi tingkah laku anggota kelompoknya atau pengikutnya.
Ada beberapa konsep atau batasan tentang kepemimpinan antara lain :
1)    Kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai suatu kepribadian (personality) seseorang yang dapat menumbuhkan keinginan anggota kelompoknya untuk mencontohnya atau mengikutinya.
2)    Kepemimpinan adalah suatu seni (art), kesanggupan (ability), atau teknik untuk membuat sekelompok orang-orang (bawahan dalam organisasi formal atau simpatisan dalam organisasi nonformal) mengikuti atau mentaati segala apa yang dikehendakinya, membuat mereka demikian atusias untuk mengikutinya, dan bahkan ada yang sanggup berkorban.
3)    Kepemimpinan dapat pula dipandang sebagai suatu bentuk persuasi, suatu seni pembinaan sekelompok orang-orang tertentu, biasanya melalui “human relations” dan motivasi yang tepat, sehingga mereka tanpa adanya rasa takut mau bekerjasama untuk mencapai tujuan (M. Karjadi, 1983 : 2-3).
Dalam forum ini kita tidak perlu terbelenggu dengan definisi-definisi kepemimpinan. Yang perlu lebih dicermati adalah deskripsi tingkah laku pemimpin dan prinsip-prinsip kepemimpinan, yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam mengidealisasi pemimpim masa depan.
Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam mendeskripsikan tingkah laku seorang pemimpin yang disebut leadership traits, antara lain adalah :
1)    Keadaan fisik
2)    Kecerdasan
3)    Kepercayaan diri
4)    Penyesuaian diri
5)    Kemauan, yang meliputi inisiatif dan ambisi
6)    Kepribadian yang penuh optimis
7)    Keterbukaan
8)    Sifat partisipasi sosial (Mar’at, 1983 : 46-47)
Ki Hajar Dewantara telah meletakkan landasan filosofi perilaku seorang pemimpin yang masih tetap kita gunakan sampai saat ini yaitu :
1)    Ing ngarso sung tulodo (Di muka memberi teladan)
Artinya, seorang pemimpin harus mampu – lewat sikap dna perbuatannya – menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan orang-orang yang dipimpinnya.
2)    Ing madya mangun karso (Di tengah membangun semangat)
Artinya, seorang pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang-orang yang dibimbingnya, dan
3)    Tut wuri handayani (Dari belakang memberi dorongan)
Artinya, seorang pemimpin harus mampu mendorong orang-orang yang diasuhnya agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
Ketiga landasan di atas merupakan prinsip utama kepemimpinan Pancasila (Buku materi Pelengkap Penataran P4).
J.H. Carter (dalam Mar’at, 1983 : 47) mengemukakan ciri-ciri tingkah laku kepemimpinan sebagai berikut :
1)    Performing professional and technical specialty;
2)    Knowing subordinates and showing consideration for them;
3)    Keeping channels of communication open.:
4)    Accepting personal  responsibly and setting and example;
5)    Iminiationg and directing action
6)    Training en as team;
7)    Making decision.
Prinsip-prinsip kepemimpinan di atas merupakan traits of personality. Untuk itu, seorang pemimpin harus memenuhi persyaratan-persyaratan yaitu : 1) taqwa dan beriman, 2) jujur, 3) memiliki pengetahuan yang cukup, 4) berani mengambil resiko, 5) tegas, 6) berinisiatif, 7) bijaksana, 8) bersikap adil, 9) memiliki gairah dan semangat kerja, 10) ulet, 11) tidak mementingkan diri sendiri, 12) setia, 13) berwibawa, 14) mampu mengambil keputusan, 15) memiliki rasa percaya diri, dan 16) memiliki visi ke depan.

3.    Kontribusi Pendidikan IPA Terhadap Pembentukan Sikap Kepemimpinan
Berdasarkan pemahaman kita terhadap hakekat IPA dan hakekat pendidikan IPA, serta metodologi pembelajaran IPA, maka dapat disimak aspek-aspek dan substansi pendidikan IPA yang akan berkontribusi terhadap pembentukan sikap kepemimpinan.
1)    Tinjauan dari aspek fungsi dan tujuan pendidikan IPA
Pendidikan IPA berfungsi untuk memberikan pengetahuan tentang lingkungan alam, mengembangkan keterampilan, wawasan dan kesadaran teknologi yang berkaitan dengan pemanfaatannya bagi kehidupan sehari-hari dan prasyarat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, serta peningkatan kesadaran t erhadap kebesaran dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa>
Secara rinci, tujuan pendidikan IPA adalah :
(1)    Meningkatkan kesadaran akan kelestarian lingkungan, kebanggaan nasional, dan kebesaran serta kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa;
(2)    Memahami konseo-konsep IPA dan saling keterkaitannya;
(3)    Mengembangkan daya penalaran untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari
(4)    Mengembangkan keterampilan proses untuk memperoleh konsep-konsep IPA dan menumbuhkan nilai dan sikap ilmiah;
(5)    Menerapkan konsep dan prinsip IPA untuk menghasilkan karya teknologi sederhana yang berkaitan dengan kebutuhan manusia;
(6)    Memberikan bekal pengetahuan dasar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
(Depdikbud, GBPP Kurikulum 1994).
Ditinjau dari aspek fungsi dan tujuan pendidikan IPA, tampak bahwa pendidikan IPA akan memberi kontribusi terhadap beberapa aspek kepemimpinan seperti taqwa, berpengetahuan, peduli lingkungan, daya penalaran, nilai dan sikap ilmiah.

2)    Tinjauan dari aspek IPA sebagai produk dan IPA sebagai proses
IPA sebagai produk akan memberi kontribusi terhadap aspek kepemilikan pengetahuan yang merupakan dasar bagi profesionalisme bagi seorang pemimpin. Sedangkan IPA sebagai proses akan memberi kontribusi yang lebih banyak bagi pembentukan sikap kepemimpinan seperti sikap jujur, objektif, inisiatif, ulet, dan sikap keterbukaan. Penekanan terhadap IPA sebagai proses dalam pembelajaran IPA, akan banyak memberi kontribusi bagi pembentukan sikap kepemimpinan.

3)    Tinjauan dari aspek metodologi pembelajaran IPA
Ada beberapa pendekatan pembelajaran IPA yang akan dapat memberi kontribusi bagi pembentukan sikap kepemimpinan. Pendekatan-pendekatan itu antara lain sebagai berikut:
1.    Pendekatan Discovery/Inquiry
Pembelajaran IPA melalui pendekatan discovery/inquiry akan memberikan beberapa keuntungan, diantaranya adalah:
a)    Pembelajaran menjadi berpusat pada siswa (student centered);
b)    Membangun konsep diri (self concept) siswa;
c)    Tingkat penghargaan (expectancy) siswa bertambah;
d)    Mengembangkan bakat dan kecakapan individu; dan
e)    Menghindarkan siswa dari cara belajar menghafal (Sund, 1975 : 101)
Keunggulan pendekatan discovery/inquiry pada butir b) yaitu membangun konsep diri (self concept) siswa,  akan memberikan kontribusi bagi pembentukan kepribadian seorang pemimping. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa seorang pemimpin dipersyaratkan memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan sikap terbuka. Kedua aspek kepemimpinan ini dapat dibangun melalui pembelajaran IPA dengan pendekatan discovery/inquiry.
Proses pembelajaran dengan pendekatan discovery/inquiry dapat membentuk dan mengembangkan konsep diri siswa. Setiap siswa memiliki konsep diri. Jika konsep diri siswa tinggi, maka secara psikologis mereka akan merasa aman, terbuka terhadap pengalaman baru, lebih kreatif, dan pada umumnya memiliki mental yang sehat. Pembentukan konsep diri sangat diperlukan dalam upaya pembentukan manusia seutuhnya. Jalur menuju pembentukan manusia seutuhnya dapat digambarkan sebagai berikut.


Menghasilkan pembentukan
manusia seutuhnya

Membentuk dan mengembangkan
konsep diri

Manifestasi potensi manusia

Keterlibatan dalam proses-proses
discovery/inquiry

Gambar 2. Jalur Pembentukan Manusia Seutuhnya (Amin, 1975 : 10)

2.    Pendekatan Keterampilan Proses
Kemampuan-kemampuan atau keterampilan-keterampilan yang dapat dikembangkan melalui pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran IPA antara lain :
a)    Mengobservasi atau mengamati (termasuk di dalamnya : mengukur, menghitung, mengklasifikasi, mencari hubungan ruang/waktu;
b)    Membuat hipotesis;
c)    Merencanakan penelitian;
d)    Mengendalaikan variabel;
e)    Menginterpretasi atau menafsirkan data;
f)    Melakukan inferensi (kesimpulan sementara);
g)    Memprediksi;
h)    Mengaplikasi;
i)    Mengkomunikasikan (Cony Semiawan, 1985 : 17-18).
Butir-butir kemampuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui pembelajaran IPA dengan pendekatan keterampilan proses, akan memberi kontribusi bagi pembentukan terhadap beberapa aspek kepemimpinan, seperti sikap objektif, teliti, kreatif, ulet, antisipatif, prediktif, dan sebagainya.
3.    Pendekatan Kontruktivisme
Dalam model belajar dengan pendekatan konstruktivisme, siswa itu sendiri yang aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang telah ada pada dirinya. guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan mengajar lebih terfokus pada “suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman mereka”, dan bukan pada “kebenaran siswa dalam melakukan replikasi atas apa yang dikerjakan guru”. sebagai implikasi dari konseptualisasi ini, pembelajar hendaknya tidka dipandang sebagai penerima pasif dari suatu program instructional, tetapi harus dilihat sebagai bagian yang aktif dan bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya.  Mengajar bukan hanya proses transmisi pengetahuan, tetapi lebih merupakan proses negosiasi makna. Dalam menjalankan fungsinya  sebagai fasilitator atau mediator pembelajaran, pada saat munculnya miskonsepsi siswa, guru menyajikan konflik kognitif sehingga terjadi ketidakseimbangan (disekuilibrasi) pada diri siswa. Konflik kognitif yang disajikan guru diharapkan dapat menyadarkan siswa akan kekeliruan konsepsinya, dan pada akhirnya mereka akan merekonstruksi konsepsinya menuju konsepsi ilmiah.
Dari uraian di atas, ada empat aspek penting yang dapat disumbangkan bagi pembentukan kepribadian seorang pemimpin, yaitu: kemampuan mengorganisasi pengalaman, sikap tanggung jawab, kemampuan negosiasi, dan sikap introspeksi diri.

4.    Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM)
Pendekatan STM dalam pembelajaran IPA merupakan proses pembelajaran IPA dalam konteks pengalaman manusia, dengan ciri-ciri khusus sebagai berikut:
a)    Siswa mengidentifikasi masalah-masalah dan isu sosial dan teknologi di daerahnya serta dampaknya;
b)    Menggunakan sumber lokal untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah;
c)    Keterlibatan siswa secara aktif dalam mencari informasi dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata;
d)    Perluasan terjadinya proses belajar yang melampaui waktu, kelas, dan sekolah;
e)    Memusatkan pengaruh sains dan teknologi pada siswa;
f)    Pandangan bahwa materi subjek lebih dari sekedar konsep yang harus dikuasai;
g)    Penekanan pada keterampilan proses yang dapat digunakan siswa dalam memecahkan masalah;
h)    Penekanan terhadap kesadaran karir, terutama karir yang berhubungan dengan sains dan teknologi;
i)    Memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan sebagai warga masyarakat; jika telah dapat mengatasi isu yang telah diidentifikasinya;
j)    Indentifikasi cara-cara yang memungkinkan sains dan teknologi memecahkan masalah di masa depan;
k)    Perwujudan otonomi dalam proses belajar sebagai isu individu;
l)    Memberi peluang kepada siswa untuk berfungsi sebagai “pengambil keputusan” (decision maker).
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran IPA dengan pendekatan STM, tampak bahwa beberapa aspek kepemimpinan dapat ditumbuh kembangkan.
Kemampuan dan keterampilan mengidentifikasi masalah dan isu-isu sosial dan teknologi merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Demikian pula, kemampuan dan keterampilan mencari dan menggunakan informasi untuk memecahkan masalah yang dikembangkan melalui proses pembelajaran IPA dengan pendekatan STM, akan memberi kontribusi yang besar bagi eksistensi seorang pemimpin, terutama bagi pemimpin masa kini dan masa datang. Dalam era globalisasi informasi dewasa ini, maka siapa yang menguasai informasi dan mampu menggunakannya akan unggul.
Kemampuan dan keterampilan mengidentifikasi cara-cara yang memungkinkan sains dan teknologi memecahkan masalah di masa depan, yang dikembangkan melalui pendekatan STM, juga merupakan aspek yang penting bagi seorang pemimpin, khususnya pemimpin di masa depan. Satu kemampuan yang sangat penting dikembangkan melalui pendekatan STM adalah kemampuan siswa sebagai “pengambil keputusan” (decision maker). Kemampuan ini tidak dapat ditawar dan harus dimiliki oleh seorang pemimpin.

DAFTAR PUSTAKA

Amien, Moh. (1987). Mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Dengan Metode Discovery dan Inquiry. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

_______. (1979). Apakah Metode Discovery dan Inquiry itu? Yogyakarta: FKIE IKIP Yogyakarta.

Bodner, George M. (1986). Constructivism : A Theory of Knowledge. Journal of Chemical Education. Vol. 63. No. 10.

Conny Semiawan, dkk. (1985). Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta:                      PT. Gramedia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1993). Kurikulum Pendidikan Dasar. Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

Hungerford, Harold R., et al. (1990). Science-Technology-Society: Investigating and Evaluating STS Issues and Solutions. Illinois: Stipes Publishing Company.

Karjadi, M. (1983). Kepemimpinan (Leadership). Bandung: PT. Karya Nusantara.

Sund, Robert. B., and Trowbidge Leslie, W. (1973). Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. Ohio: Charles E. Merril Publishing Company.

Yager, Robert E. (1996). Science/Technology/Society, as A Reform in Science Education. New York: State University of New York Press.

Mar’at. (1985). Pemimpin dan Kepemimpinan