Jumat, 16 Desember 2011

LANGKAH-LANGKAH PEMUKA MASYARAKAT/LEMBAGA ADAT DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT SEHAT DAN AMAN (SAFE COMMUNITY)


I.             EKSISTENSI DESA ADAT
Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa di Bali tidak menimbulkan perubahan fundamental terhadap keberadaan desa adat yang salama ini berperan sebagai organisasi otonomi asli yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Jadi disamping desa menurut undang-undang, di Bali kita mengenal pula desa adat yang telah ada tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali. Hingga dewasa ini desa adat/desa pekraman ternyata telah membuktikan dirinya memegang peranan yang sangat penting tidak hanya dalam menata dan membina kehidupan masyarakat desa adat tetapi juga telah memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam pembangunan nasional.
Untuk melestarikan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang bersumber pada ajaran agama Hindu maka pada tanggal 25 Juni 1986 telah ditetapkan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali No. 06 Tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat didalam wilayah  Propinsi Daerah Tingkat I Bali (selanjutnya disebutkan peraturan daerah tentang desa adat). Peraturan daerah ini sudah disahkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Keputusan Menteri Dalam No. 14000.61/1380 Tanggal 29 Oktober 1987. Dan diundangkan dalam lembaran daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali No. 3. Tanggal 27 Pebruari 1988 seri D No. 3. Sehingga dengan demikian keberadaan desa adat sejak Tanggal 27 Pebruari 1988 telah mendapat landasan hukum yang pasti dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tetapi sekarang Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 telah tidak berlaku lagi karena telah diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang daerah, sedangkan Perda 06/1986 tentang Desa Adat telah diganti pula dengan Perda 03 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman.
Dengan otonomi asli dan pola struktur yang sudah mapan (wilayah, krama, prajuru, awing-awig, druwen desa/harta kekayaan desa) yang dimiliki oleh desa adat kiranya dalam pelaksanaan otonomi daerah menurut Undang-Undang No. 22/1999, desa adat akan mampu melaksanakan peranannya sebagai subyek dan sekaligus obyek pembangunan.

II.          AWIG-AWIG DESA ADAT
Awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bagi semua krama desa di desa adatnya untuk mewujudkan kehidupan yang tertib, aman, tentram dan sejahtera. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yaitu sukertha tata parhyangan (menyangkut masalah keagamaan), sukertha tata pawongan (yang menyangkut masalah krama desa) dan sukartha tata palemahan (yang menyangkut masalah lingkungan desa pakraman) dan tentang pamidanda (sangsi-sangsi atas wicara/pelanggaran awig-awig).
Didalam ketentuan Pasal 7 Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 tentang Desa Adat dan telah diganti dengan Perta 03/2001 tentang Desa Pakraman (Bab VII, Ps. 11 ayat 1), dinyatakan bahwa setiap desa adat di Bali agar memiliki awig-awig tertulis. Pentingnya desa adat memiliki awig-awig tertulis, supaya ada kepastian tentang pelaksanan awig-awig itu sendiri di desa adat. Apabila pelaksanaan awig-awig itu tidak pasti maka hal yang demikian itulah yang akan menimbulkan permasalahan-permasalahan di desa adat.
Awig-awig dibuat oleh krama desa berdasarkan kesepakatan bersama atau pararem, disahkan oleh krama desa dan ditaati oleh krama desa itu. Dalam hal ini terlihat suatu dialektika yaitu: dari krama desa, oleh krama desa dan untuk krama desa itu sendiri. Arti penting dari awig-awig itu adalah merupakan pengikat persatuan dan kesatuan krama desa guna menjamin kekompakan dan keutuhannya dalam menyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib dan sejahtera di desa adat.
Dalam upaya mewujudkan kehendak bersama itu prajuru desa adat mempunyai tugas melaksaakan awig-awig serta mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bertujuan untuk menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan krama desanya antara lain :
-          Mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dengan adat sehubungan dengan harta dan pustaka desa adat.
-          Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat.
-          Mengusahakan perdamaian dan penyelesaian terhadap sengketa-sengketa adat
-          Membantu pemerintah dalam melaksanakan dan pelakasanaan pembangunan di segala bidang terutama bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan.
Sisi penting dari awig-awig adalah merupakan pengikat persatuan dan keutuhan krama desa dalam menyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, tentram dan sejahtera di desa adat, sehingga aturan-aturan yang tercantum dalam awig-awig adalah sangat mengikat krama desa. Disatu sisi para prajuru (pengurus) desa bertugas melaksanakan dan mengamankan awig-awig sedangkan disisi lain krama desa patut mentaati keputusan-keputusan sebagai pelaksanaan awig-awig.
Setelah memahami struktur/pranata organisasi sosial dan fungsi masing-masing lembaga yang ada, maka pembinaan desa adat dilakukan oleh MPLA yang secara fungsional berkewajiban memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Gubernur dan BPPLA kepada Bupati/Walikota Madya dibidang adat dan permasalahannya, maka upaya-upaya lanjutan yang diperlukan adalah :
1.      Meningkatkan pemahaman tersebut kepada semua pihak yang terkait dan peduli terhadap desa adat.
2.      Meningkatkan sumber daya manusia dari prajuru-prajuru desa adat dengan kualitas yang memadai untuk dapat mengantisipasi permasalahan menghadapi perkembangan jaman.
3.      Hendaknya krama desa adat juga dapat mentaati awig-awig dan perarem-perarem yang telah dibuat dan disepakati bersama.
Bila hal-hal tersebut dapat diwujudkan dan dilaksanakan dengan baik sudah tentu harapan-harapan untuk mewujudkan desa adat yang ajeg dan lestari dapat dilaksanakan.

III.       PEMBUDAYAAN HIDUP BERSIH
Hidup bersih biasanya/lebih dekat bila dihubungkan dengan kesehatan yang meliputi kebersihan badan, ruangan, lingkungan, makanan dan sebagainya yang sudah mendapat perhatian sepatutnya walaupun masih sangat perlu ditingkatkan karena disana-sini masih ada orang-orang yang tidak peduli dengan kebersihan lingkungan. Dengan seenaknya membuang sampah, menimbun kotoran di sembarang tempat. Hal ini akan tertanggulangi bila kita semua sadar akan pentingnya kebersihan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Petunjuk-petunjuk ke arah itu sebenarnya sudah diajarkan oleh para leluhur kita melalui pendidikan agama, budi pekerti, kesehatan dan cerita-cerita rakyat yang mengandung makna pendidikan. Bagi kita semua umat Hindu (di Bali) masalah kebersihan dan lingkungan juga sudah ada dalam filsafat-filsafat agama, dresta, adat, juga dalam cerita-cerita pengantar tidur anak-anak, geguritan dan lain-lain.
Seperti diketahui bahwa filsafat Tri Hita Karana yang merupakan dasar dari pada desa adat kita, menyebutkan bahwa ketiga unsur penyebab kebahagiaan (hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan) harus berjalan serasi dan harmonis. Bila terjadi disharmoni maka akan terjadi kegoncangan/ malapetaka. Hubungan manusia dengan Tuhan dituntun melalui agama yang meliputi tatwa, susila dan upacara. Hubungan manusia dengan manusia dituntun dengan dresta/ adat istiadat, awig-awig, sedangkan manusia dengan lingkungan dituntun dengan agama dan adat istiadat dibawah hukum alam, Rta, dalam keharmonisan/keserasian. Barang siapa yang berani menentang hukum alam maka ia akan menerima hukuman/sangsi/ akibat. Sebagai contoh sederhana, seseorang dalam keadaan lapar dia harus makan (hukum alam) tetapi dia menentang dengan tidak mau makan, maka hukumannya dia akan menjadi lapar dan jatuh sakit. Oleh karenanya keharmonisan itu harus tetap terjaga. Didalam salah satu tatwa agama dikatakan bahwa jagad raya ini diciptakan oleh Tuhan/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala isinya termasuk manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa jagad raya ini sebagai buana agung dan manusia sebagai buana alit. Buana agung dan buana alit sama-sama dibentuk oleh unsur-unsur panca maha butha : apah, teja, bayu, akasa, pratiwi (zat padat, zat cair, panas, udara, ether) yang kemudian menimbulkan panca tan matra : gandha, rasa, sparsa, rupa, sabda tan matra : karena unsur-unsurnya sama maka apa yang ada di buana agung juga ada di buana alit. Disamping persamaan unsur-unsur tentu juga ada perbedaan yang disebabkan oleh hukum rwa bineda, suatu konsepsi dasar bahwa perbedaan itu diyakin adanya, namun saling berkorelasi sekaligus sebagai sebab akibat dari perbedaan itu sendiri. Di dunia ini Ida Sang Hyang Widhi menciptakan tiga kehidupan yaitu kehidupan yang hanya memiliki bayu: tanam-tanaman, yang memiliki bayu dan sabda yaitu hewan/binatang, yang memiliki bayu, sabda dan idep yaitu manusia : sebagai akibat dari ciptaan maka semuanya diliputi/dibawah hukum utpeti (lahir/diciptakan), stiti (hidup) dan praline (musnah, mati) sebagia manusia secara pribadi juga mendapat hukum : suka, duka lara pati, yang pasti dialami semasa hidupnya. Manusia tidak bisa hidup sendiri, dia sangat memerlukan orang lain dalam kehidupannya untuk bertahan/mempertahankan hidup dan untuk berkembang biak. Oleh karenanya mulailah ada kehidupan berkelompok karena saling membutuhkan, persamaan nasib, persamaan kepentingan, persamaan tujuan dan lain sebagainya. Di Bali pengelompokkan ini disebut desa adat/desa pakraman yang mengikat diri dalam ikatan Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa/Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem) dan mengatur diri dengan awig-awig untuk mencapai ketentraman, keharmonisan, keselarasan, keamanan dalam kebersamaan. Keharmonisan dalam buana alit diatur melalui awig-awig dan upacara upakara yang disebut pasuka-dukaan. Sedangkan harmonisasi buana agung melalui upacara tawur kesanga di catus pataning desa (perempatan agung) yang bertujuan melakukan pembersihan jagad dari mala malaning bumi, sedangkan manusia melakukan pembersihan diri melalui mandi dan bergotong royong membersihkan lingkungan untuk menjaga harmonisnya kehidupan.
Pembudayaan hidup bersih pada hakekatnya sudah dilaksanakan dalam berbagai aspek kehidupan baik melalui agama, adat istiadat dan berbagai kesempatan secara sekala maupun niskala. Dalam suatu kegiatan upacara para pemangku, pedanda/sulinggih pasti melakukan upacara penyucian/pebersihan diri terlebih dahulu sebelum melaksanakan suatu upacara dan kemudian menghaturkan, lis (ngelisang) baya-kala, caru, terlebih dahulu juga bermakna pembersihan alat-alat upacara, pembersihan bhuta kala sebelum menghaturkan upacara/yadnya inti.
Pada masa lalu membersihkan rumah/nyapu pertama-tama dilaksanakan adalah di telajaran dan sampahnya dibawa kedalam untuk dibuang di “teba” atau dijemur sebagai kayu api untuk memasak dan baru kemudian bersih-bersih di dalam rumah. Jadi budaya hidup bersih sudah sangat mengakar di masyarakat Hindu (Bali), tetapi untuk meningkatkannya perlu upaya-upaya lanjutan yang berupa mengingatkan kembali tatwa-tatwa/adat istiadat yang menyangkut hidup bersih untuk dipahami dan dilanjutkan dalam pelaksanaan menuju masyarakat yang berjiwa bersih lahir dan bathin.
-          Manawa Dharma Sastra, V. 109 menyebutkan bahwa tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa dengan pelajaran suci dan tapa brata, budhi dengan pengetahuan.
-          Sikap memasuki tempat suci atau tempat yang disucikan, didepan pintu masuk kita diwajibkan untuk membersihkan diri dengan matirta “pengalang-ngalang” dengan rumput kusa (ambengan) sebagai alat untuk memerciki tirta tersebut.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda