Jumat, 16 Desember 2011

LANGKAH-LANGKAH PEMUKA MASYARAKAT/LEMBAGA ADAT DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT SEHAT DAN AMAN (SAFE COMMUNITY)


I.             EKSISTENSI DESA ADAT
Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa di Bali tidak menimbulkan perubahan fundamental terhadap keberadaan desa adat yang salama ini berperan sebagai organisasi otonomi asli yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Jadi disamping desa menurut undang-undang, di Bali kita mengenal pula desa adat yang telah ada tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Bali. Hingga dewasa ini desa adat/desa pekraman ternyata telah membuktikan dirinya memegang peranan yang sangat penting tidak hanya dalam menata dan membina kehidupan masyarakat desa adat tetapi juga telah memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam pembangunan nasional.
Untuk melestarikan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang bersumber pada ajaran agama Hindu maka pada tanggal 25 Juni 1986 telah ditetapkan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali No. 06 Tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat didalam wilayah  Propinsi Daerah Tingkat I Bali (selanjutnya disebutkan peraturan daerah tentang desa adat). Peraturan daerah ini sudah disahkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Keputusan Menteri Dalam No. 14000.61/1380 Tanggal 29 Oktober 1987. Dan diundangkan dalam lembaran daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali No. 3. Tanggal 27 Pebruari 1988 seri D No. 3. Sehingga dengan demikian keberadaan desa adat sejak Tanggal 27 Pebruari 1988 telah mendapat landasan hukum yang pasti dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tetapi sekarang Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 telah tidak berlaku lagi karena telah diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang daerah, sedangkan Perda 06/1986 tentang Desa Adat telah diganti pula dengan Perda 03 Tahun 2001 tentang Desa Pekraman.
Dengan otonomi asli dan pola struktur yang sudah mapan (wilayah, krama, prajuru, awing-awig, druwen desa/harta kekayaan desa) yang dimiliki oleh desa adat kiranya dalam pelaksanaan otonomi daerah menurut Undang-Undang No. 22/1999, desa adat akan mampu melaksanakan peranannya sebagai subyek dan sekaligus obyek pembangunan.

II.          AWIG-AWIG DESA ADAT
Awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bagi semua krama desa di desa adatnya untuk mewujudkan kehidupan yang tertib, aman, tentram dan sejahtera. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yaitu sukertha tata parhyangan (menyangkut masalah keagamaan), sukertha tata pawongan (yang menyangkut masalah krama desa) dan sukartha tata palemahan (yang menyangkut masalah lingkungan desa pakraman) dan tentang pamidanda (sangsi-sangsi atas wicara/pelanggaran awig-awig).
Didalam ketentuan Pasal 7 Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 tentang Desa Adat dan telah diganti dengan Perta 03/2001 tentang Desa Pakraman (Bab VII, Ps. 11 ayat 1), dinyatakan bahwa setiap desa adat di Bali agar memiliki awig-awig tertulis. Pentingnya desa adat memiliki awig-awig tertulis, supaya ada kepastian tentang pelaksanan awig-awig itu sendiri di desa adat. Apabila pelaksanaan awig-awig itu tidak pasti maka hal yang demikian itulah yang akan menimbulkan permasalahan-permasalahan di desa adat.
Awig-awig dibuat oleh krama desa berdasarkan kesepakatan bersama atau pararem, disahkan oleh krama desa dan ditaati oleh krama desa itu. Dalam hal ini terlihat suatu dialektika yaitu: dari krama desa, oleh krama desa dan untuk krama desa itu sendiri. Arti penting dari awig-awig itu adalah merupakan pengikat persatuan dan kesatuan krama desa guna menjamin kekompakan dan keutuhannya dalam menyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib dan sejahtera di desa adat.
Dalam upaya mewujudkan kehendak bersama itu prajuru desa adat mempunyai tugas melaksaakan awig-awig serta mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bertujuan untuk menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan krama desanya antara lain :
-          Mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dengan adat sehubungan dengan harta dan pustaka desa adat.
-          Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat.
-          Mengusahakan perdamaian dan penyelesaian terhadap sengketa-sengketa adat
-          Membantu pemerintah dalam melaksanakan dan pelakasanaan pembangunan di segala bidang terutama bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan.
Sisi penting dari awig-awig adalah merupakan pengikat persatuan dan keutuhan krama desa dalam menyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, tentram dan sejahtera di desa adat, sehingga aturan-aturan yang tercantum dalam awig-awig adalah sangat mengikat krama desa. Disatu sisi para prajuru (pengurus) desa bertugas melaksanakan dan mengamankan awig-awig sedangkan disisi lain krama desa patut mentaati keputusan-keputusan sebagai pelaksanaan awig-awig.
Setelah memahami struktur/pranata organisasi sosial dan fungsi masing-masing lembaga yang ada, maka pembinaan desa adat dilakukan oleh MPLA yang secara fungsional berkewajiban memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Gubernur dan BPPLA kepada Bupati/Walikota Madya dibidang adat dan permasalahannya, maka upaya-upaya lanjutan yang diperlukan adalah :
1.      Meningkatkan pemahaman tersebut kepada semua pihak yang terkait dan peduli terhadap desa adat.
2.      Meningkatkan sumber daya manusia dari prajuru-prajuru desa adat dengan kualitas yang memadai untuk dapat mengantisipasi permasalahan menghadapi perkembangan jaman.
3.      Hendaknya krama desa adat juga dapat mentaati awig-awig dan perarem-perarem yang telah dibuat dan disepakati bersama.
Bila hal-hal tersebut dapat diwujudkan dan dilaksanakan dengan baik sudah tentu harapan-harapan untuk mewujudkan desa adat yang ajeg dan lestari dapat dilaksanakan.

III.       PEMBUDAYAAN HIDUP BERSIH
Hidup bersih biasanya/lebih dekat bila dihubungkan dengan kesehatan yang meliputi kebersihan badan, ruangan, lingkungan, makanan dan sebagainya yang sudah mendapat perhatian sepatutnya walaupun masih sangat perlu ditingkatkan karena disana-sini masih ada orang-orang yang tidak peduli dengan kebersihan lingkungan. Dengan seenaknya membuang sampah, menimbun kotoran di sembarang tempat. Hal ini akan tertanggulangi bila kita semua sadar akan pentingnya kebersihan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Petunjuk-petunjuk ke arah itu sebenarnya sudah diajarkan oleh para leluhur kita melalui pendidikan agama, budi pekerti, kesehatan dan cerita-cerita rakyat yang mengandung makna pendidikan. Bagi kita semua umat Hindu (di Bali) masalah kebersihan dan lingkungan juga sudah ada dalam filsafat-filsafat agama, dresta, adat, juga dalam cerita-cerita pengantar tidur anak-anak, geguritan dan lain-lain.
Seperti diketahui bahwa filsafat Tri Hita Karana yang merupakan dasar dari pada desa adat kita, menyebutkan bahwa ketiga unsur penyebab kebahagiaan (hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan) harus berjalan serasi dan harmonis. Bila terjadi disharmoni maka akan terjadi kegoncangan/ malapetaka. Hubungan manusia dengan Tuhan dituntun melalui agama yang meliputi tatwa, susila dan upacara. Hubungan manusia dengan manusia dituntun dengan dresta/ adat istiadat, awig-awig, sedangkan manusia dengan lingkungan dituntun dengan agama dan adat istiadat dibawah hukum alam, Rta, dalam keharmonisan/keserasian. Barang siapa yang berani menentang hukum alam maka ia akan menerima hukuman/sangsi/ akibat. Sebagai contoh sederhana, seseorang dalam keadaan lapar dia harus makan (hukum alam) tetapi dia menentang dengan tidak mau makan, maka hukumannya dia akan menjadi lapar dan jatuh sakit. Oleh karenanya keharmonisan itu harus tetap terjaga. Didalam salah satu tatwa agama dikatakan bahwa jagad raya ini diciptakan oleh Tuhan/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala isinya termasuk manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa jagad raya ini sebagai buana agung dan manusia sebagai buana alit. Buana agung dan buana alit sama-sama dibentuk oleh unsur-unsur panca maha butha : apah, teja, bayu, akasa, pratiwi (zat padat, zat cair, panas, udara, ether) yang kemudian menimbulkan panca tan matra : gandha, rasa, sparsa, rupa, sabda tan matra : karena unsur-unsurnya sama maka apa yang ada di buana agung juga ada di buana alit. Disamping persamaan unsur-unsur tentu juga ada perbedaan yang disebabkan oleh hukum rwa bineda, suatu konsepsi dasar bahwa perbedaan itu diyakin adanya, namun saling berkorelasi sekaligus sebagai sebab akibat dari perbedaan itu sendiri. Di dunia ini Ida Sang Hyang Widhi menciptakan tiga kehidupan yaitu kehidupan yang hanya memiliki bayu: tanam-tanaman, yang memiliki bayu dan sabda yaitu hewan/binatang, yang memiliki bayu, sabda dan idep yaitu manusia : sebagai akibat dari ciptaan maka semuanya diliputi/dibawah hukum utpeti (lahir/diciptakan), stiti (hidup) dan praline (musnah, mati) sebagia manusia secara pribadi juga mendapat hukum : suka, duka lara pati, yang pasti dialami semasa hidupnya. Manusia tidak bisa hidup sendiri, dia sangat memerlukan orang lain dalam kehidupannya untuk bertahan/mempertahankan hidup dan untuk berkembang biak. Oleh karenanya mulailah ada kehidupan berkelompok karena saling membutuhkan, persamaan nasib, persamaan kepentingan, persamaan tujuan dan lain sebagainya. Di Bali pengelompokkan ini disebut desa adat/desa pakraman yang mengikat diri dalam ikatan Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa/Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem) dan mengatur diri dengan awig-awig untuk mencapai ketentraman, keharmonisan, keselarasan, keamanan dalam kebersamaan. Keharmonisan dalam buana alit diatur melalui awig-awig dan upacara upakara yang disebut pasuka-dukaan. Sedangkan harmonisasi buana agung melalui upacara tawur kesanga di catus pataning desa (perempatan agung) yang bertujuan melakukan pembersihan jagad dari mala malaning bumi, sedangkan manusia melakukan pembersihan diri melalui mandi dan bergotong royong membersihkan lingkungan untuk menjaga harmonisnya kehidupan.
Pembudayaan hidup bersih pada hakekatnya sudah dilaksanakan dalam berbagai aspek kehidupan baik melalui agama, adat istiadat dan berbagai kesempatan secara sekala maupun niskala. Dalam suatu kegiatan upacara para pemangku, pedanda/sulinggih pasti melakukan upacara penyucian/pebersihan diri terlebih dahulu sebelum melaksanakan suatu upacara dan kemudian menghaturkan, lis (ngelisang) baya-kala, caru, terlebih dahulu juga bermakna pembersihan alat-alat upacara, pembersihan bhuta kala sebelum menghaturkan upacara/yadnya inti.
Pada masa lalu membersihkan rumah/nyapu pertama-tama dilaksanakan adalah di telajaran dan sampahnya dibawa kedalam untuk dibuang di “teba” atau dijemur sebagai kayu api untuk memasak dan baru kemudian bersih-bersih di dalam rumah. Jadi budaya hidup bersih sudah sangat mengakar di masyarakat Hindu (Bali), tetapi untuk meningkatkannya perlu upaya-upaya lanjutan yang berupa mengingatkan kembali tatwa-tatwa/adat istiadat yang menyangkut hidup bersih untuk dipahami dan dilanjutkan dalam pelaksanaan menuju masyarakat yang berjiwa bersih lahir dan bathin.
-          Manawa Dharma Sastra, V. 109 menyebutkan bahwa tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa dengan pelajaran suci dan tapa brata, budhi dengan pengetahuan.
-          Sikap memasuki tempat suci atau tempat yang disucikan, didepan pintu masuk kita diwajibkan untuk membersihkan diri dengan matirta “pengalang-ngalang” dengan rumput kusa (ambengan) sebagai alat untuk memerciki tirta tersebut.

Pengembangan mutu pendidikan di kabupaten Badung sebuah kajian pengembangan


Abstraksi

Inovasi pendidikan menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan dari
masa ke masa.
Isu ini selalu juga muncul tatkala orang membicarakan
tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam inovasi
pendidikan, secara umum dapat diberikan dua buah model inovasi yang
baru yaitu: Pertama "top-down model" yaitu inovasi pendidikan yang
diciptakan oleh pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang diterapkan
kepada bawahan; seperti halnya inovasi pendidikan yang dilakukan oleh
Departemen Pendidikan Nasinal selama ini. Kedua "bottom-up model"
yaitu model ionovasi yang bersumber dan hasil ciptaan dari bawah dan
dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan penyelenggaraan dan mutu
pendidikan.

Disamping kedua model yang umum tersebut di atas, ada hal lain yang
muncul tatkala membicarakan inovasi pendidikan yaitu: a).
kendala-kendala, termasuk resistensi dari pihak pelaksana inovasi
seperti guru, siswa, masyarakat dan sebagainya, b). faktor-faktor
seperti guru, siswa, kurikulum, fasilitas dan dana c). lingkup sosial
masyarakat.

1.Pendahuluan

Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada
istilah invention dan discovery.
Invention adalah penemuan sesuatu
yang benar-benar baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah
penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya. Dengan
demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru
dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery. Dalam
kaitan ini Ibrahim (1989) mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan
yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati
sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang
(masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau
discovery. Inovasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk
memecahkan masalah (Subandiyah 1992:80)


Proses dan tahapan perubahan itu ada kaitannya dengan masalah
pengembangan (development), penyebaran (diffusion), diseminasi
(dissemination), perencanaan (planning), adopsi (adoption), penerapan
(implementation) dan evaluasi (evaluation) (Subandiyah 1992:77)

2. Perubahan dan Inovasi Pendidikan

Pelaksanaaan inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum tidak dapat
dipisahkan dari inovator dan pelaksana inovasi itu sendiri.
Inovasi
pendidikan seperti yang dilakukan di Depdiknas yang disponsori oleh
lembaga-lembaga asing cenderung merupakan "Top-Down Inovation".
Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk
meningkatkan mutu pendidikan atau pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan, ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan
efisiensi dan sebaginya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan
kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan dan bahkan
memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan
bawahannya. Dan bawahan tidak punya otoritas untuk menolak
pelaksanaannya.

Banyak contoh inovasi yang dilakukan oleh Depdiknas selama beberpa
dekade terakhir ini, seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Guru
Pamong, Sekolah Persiapan Pembangunan, Guru Pamong, Sekolah kecil,
Sistem Pengajaran Modul, Sistem Belajar jarak jauh dan lain-lain.
Namun inovasi yang diciptakan oleh Depdiknas bekerjasama dengan
lembaga-lembaga asing seperti British Council. USAID dan lain-lain
banyak yang tidak bertahan lama dan hilang, tenggelam begitu saja.
Model inovasi yang demikian hanya berjalan dengan baik pada waktu
berstatus sebagai proyek. Tidak sedikit model inovasi seperti itu,
pada saat diperkenalkan atau bahkan selama pelaksanaannya banyak
mendapat penolakan (resistance) bukan hanya dari pelaksana inovasi itu
sendiri (di sekolah), tapi juga para pemerhati dan administrator di
Kanwil dan Kandep. Model inovasi seperti yang diuraikan di atas,
lazimnya disebut dengan model 'Top-Down Innovation". Model itu
kebalikan dari model inovasi yang diciptakan berdasrkan ide, pikiran,
kreasi, dan inisiatif dari sekolah, guru atau masyarakat yang umumnya
disebut model "Bottom-Up Innovation"

Ada inovasi yang juga dilakukan oleh guru-guru, yang disebut dengan
"Bottom-Up Innovation". Model yang kedua ini jarang dilakukan di
Indonesia selama ini karena sitem pendidikan yang sentralistis.

Pembahasan tentang model inovasi seperti model "Top-Down" dan
"Bottom-Up" telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan para ahli
pendidikan. Sudah banyak pembahasan tentang inovasi pendidikan yang
dilakukan misalnya perubahan kurikulum dan proses belajar mengajar.
White (1988: 136-156) misalnya menguraikan beberapa aspek yang
bekaitan dengan inovasi seperti tahapan-tahapan dalam inovasi,
karakteristik inovasi, manajemen inovasi dan sistem pendekatannya.

Kennedy (1987:163) juga membicarakan tentang strategi inovasi yang
dikutip dari Chin dan Benne (1970) menyarankan tiga jenis strategi
inovasi, yaitu: Power Coercive (strategi pemaksaan), Rational
Empirical (empirik rasional), dan Normative-Re-Educative (Pendidikan
yang berulang secara normatif).

Strategi inovasi yang pertama adalah strategi pemaksaaan berdasarkan
kekuasaan merupakan suatu pola inovasi yang sangat bertentangan dengan
kaidah-kaidah inovasi itu sendiri. Strategi ini cenderung memaksakan
kehendak, ide dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan
keadaan serta situasi yang sebenarnya dimana inovasi itu akan
dilaksanakan. Kekuasaan memegang peranan yang sangat kuat pengaruhnya
dalam menerapkan ide-ide baru dan perubahan sesuai dengan kehendak dan
pikiran-pikiran dari pencipta inovasinya. Pihak pelaksana yang
sebenarnya merupakan obyek utama dari inovasi itu sendiri sama sekali
tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya.
Para inovator hanya menganggap pelaksana sebagai obyek semata dan
bukan sebagai subyek yang juga harus diperhatikan dan dilibatkan
secara aktif dalam proses perencanaan dan pengimplementasiannya.

Strategi inovasi yang kedua adalah empirik Rasional. Asumsi dasar
dalam strategi ini adalah bahwa manusia mampu menggunakan pikiran
logisnya atau akalnya sehingga mereka akan bertindak secara rasional.
Dalam kaitan dengan ini inovator bertugas mendemonstrasikan inovasinya
dengan menggunakan metode yang terbaik valid untuk memberikan manfaat
bagi penggunanya. Di samping itu, startegi ini didasarkan atas
pandangan yang optimistik seperti apa yang dikatakan oleh Bennis,
Benne, dan Chin yang dikutip dari Cece Wijaya dkk (1991).

Di sekolah, para guru menciptakan strategi atau metode mengajar yang
menurutnya sesuai dengan akal yang sehat, berkaitan dengan situasi dan
kondisi bukan berdasarkan pengalaman guru tersebut. Di berbagai
bidang, para pencipta inovasi melakukan perubahan dan inovasi untuk
bidang yang ditekuninya berdasarkan pemikiran, ide, dan pengalaman
dalam bidangnya itu, yang telah digeluti berbualan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Inovasi yang demikian memberi dampak yang lebih baik
dari pada model inovasi yang pertama. Hal ini disebabkan oleh
kesesuaian dengan kondisi nyata di tempat pelaksanaan inovasi
tersebut.

Jenis strategi inovasi yang ketiga adalah normatif re-edukatif
(pendidikan yang berulang) adalah suatu strategi inovasi yang
didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund Freud,
John Dewey, Kurt Lewis dan beberapa pakar lainnya (Cece Wijaya (1991),
yang menekankan bagaimana klien memahami permasalahan pembaharuan
seperti perubahan sikap, skill, dan nilai-nilai yang berhubungan
dengan manusia.

Dalam pendidikan, sebuah strategi bila menekankan pada pemahaman
pelaksana dan penerima inovasi, maka pelaksanaan inovasi dapat
dilakukan berulang kali. Misalnya dalam pelaksanaan perbaikan sistem
belajar mengajar di sekolah, para guru sebagai pelaksana inovasi
berulang kali melaksanakan perubahan-perubahan itu sesuai dengan
kaidah-kaidah pendidikan. Kecenderungan pelaksanaan model yang
demikian agaknya lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan
dengan hasil dari perubahan itu sendiri. Pendidikan yang dilaksanakan
lebih mendapat porsi yang dominan sesuai dengan tujuan menurut pikiran
dan rasionalitas yang dilakukan berkali-kali agar semua tujuan yang
sesuai dengan pikiran dan kehendak pencipta dan pelaksananya dapat
tercapai. Para ahli mengungkapkan berbagai persepsi, pengertian,
interpretasi tentang inovasi seperti Kennedy (1987), White (1987),
Kouraogo (1987) memberikan berbagai macan definisi tentang inovasi
yang berbeda-beda.
Dalam hal ini, penulis mengutip definisi inovasi
yang dikatakan oleh White (1987:211) yang berbunyi: "Inovation
......more than change, although all innovations involve change." (
inovasi itu ... lebih dari sekedar perubahan, walaupun semua inovasi
melibatkan perubahan).

Untuk mengetahui dengan jelas perbedaan antara inovasi dengan
perubahan, mari kita lihat definisi yang diungkapkan oleh Nichols
(1983:4).

"Change refers to " continuous reapraisal and improvement of existing
practice which can be regarded as part of the normal activity .....
while innovation refers to .... Idea, subject or practice as new by an
individual or individuals, which is intended to bring about
improvement in relation to desired objectives, which is fundamental in
nature and which is planned and deliberate."

Nichols menekankan perbedaan antara perubahan (change) dan inovasi
(innovation) sebagaimana dikatakannya di atas, bahwa perubahan mengacu
kepada kelangsungan penilaian, penafsiran dan pengharapan kembali
dalam perbaikan pelaksanaan pendidikan yang ada yang diangap sebagai
bagian aktivitas yang biasa. Sedangkan inovasi menurutnya adalah
mengacu kepada ide, obyek atau praktek sesuatu yang baru oleh
seseorang atau sekelompok orang yang bermaksud untuk memperbaiki
tujuan yang diharapkan.

Setelah membahas definisi inovasi dan perbedaan antara inovasi dan
perubahan, maka berikut ini akan diuraikan tentang kendala yang
mempengaruhi pelaksanaan inovasi pendidikan.
3. Kendala-kendala Dalam Inovasi Pendidikan

Kendala-kendala yang mempengaruhi keberhasilan usaha inovasi
pendidikan seperti inovasi kurikulum antara lain adalah (1) perkiraan
yang tidak tepat terhadap inovasi (2). konflik dan motivasi yang
kurang sehat (3). lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga
mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan (4).
keuangan (finacial) yang tidak terpenuhi (5). penolakan dari
sekelompok tertentu atas hasil inovasi (6) kurang adanya hubungan
sosial dan publikasi (Subandiyah 1992:81). Untuk menghindari
masalah-masalah tersebut di atas, dan agar mau berubah terutama sikap
dan perilaku terhadap perubahan pendidikan yang sedang dan akan
dikembangkan, sehinga perubahan dan pembaharuan itu diharapkan dapat
berhasil dengan baik, maka guru, administrator, orang tua siswa, dan
masyarakat umumnya harus dilibatkan


4. Penolakan (Resistance)

Setelah memperhatikan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan suatu
inovasi pendidikan, misalnya penolakan para guru tentang adanya
perubahan kurikulum dan metode belajar-mengajar, maka perlu kiranya
masalah tersebut dibahas. Namun sebelumnya, pengertian tentang
resisten itu perlu dijelaskan lebih dahulu.
Menurut definisi dalam
"Cambridge International English Dictionary of English" bahwa
Resistance is to fight against (something or someone) to not be
changed by or refuse to accept (something).


Bertdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa penolakan (resistance) itu adalah melawan sesuatu atau seseorang
untuk tidak berubah atau diubah atau tidak mau menerima hal tersebut.

Ada beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat
diterima oleh para pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah
sebagai berikut:
a. Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan,
penciptaan dan bahkan pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide
baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan
miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu
dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi
sekolah mereka.
b. Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan
saat sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka
laksanakan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah.
Disamping itu
sistem yang mereka miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa
aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka.
Hal senada diungkapkan pula Day dkk (1987) dimana guru tetap
mempertahankan sistem yang ada.
c. Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat
(khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan
kondisi yang dialami oleh guru dan siswa.
Hal ini juga diungkapkan
oleh Munro (1987:36) yang mengatakan bahwa "mismatch between
teacher's intention and practice is important barrier to the
success of the innovatory program".
d. Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari
pusat merupakan kecenderungan sebuah proyek dimana segala
sesuatunya ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat.
Inovasi
ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau finasial dan
keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian pihak sekolah
atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan
kehendak para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk
merubahnya.
e. Kekuatan dan kekuasaan pusat yang sangat besar sehingga dapat
menekan sekolah atau guru melaksanakan keinginan pusat, yang belum
tentu sesuai dengan kemauan mereka dan situasi sekolah mereka.

Untuk mengatasi masalah dan kendala seperti diuraikan di atas, maka
berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan
inovasi baru.


5. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Inovasi

Untuk menghindari penolakan seperti yang disebutkan di atas,
faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan
adalah guru, siswa, kurikulum dan fasilitas, dan program/tujuan,

A. Guru

Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak
yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan
kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar
di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa
siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai.

Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain
adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai
dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan
siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam
proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan
tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan
guru itu sendiri.

Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru
mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan
dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan
suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin
mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini
seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang
tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan,
tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan
kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi
pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru
mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai
teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya. (Wright
1987)

B. Siswa
Sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam proses belajar
mengajar, siswa memegang peran yang sangat dominan.
Dalam proses
belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui
penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan
komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa
terjadi apabila siswa juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan,
walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan dari pada
perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan,
sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang
harus dilaksanakan dengan konsekwen. Peran siswa dalam inovasi
pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya,
karena siswa bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran
pada sesama temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru. Oleh karena
itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan
penerapannya, siswa perlu diajak atau dilibatkan sehingga mereka tidak
saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga
mengurangi resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya.


C. Kurikulum

Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi
program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Oleh karena itu
kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan
dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaan
inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan
unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa
mengikuti program-program yang ada di dalamya, maka inovasi pendidikan
tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh
karena itu, dalam pembahruan pendidikan, perubahan itu hendaknya
sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti
dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari
kedua-duanya akan berjalan searah.

D. Fasilitas

Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa
diabaikan dalam dalam proses pendidikan khususnya dalam prose
s belajar
mengajar. Dalam pembahruan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan
hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan.
Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa
dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama
fasilitas belajar mengajar merupakan hal yang esensial dalam
mengadakan perubahan dan pembahruan pendidikan. Oleh karena itu, jika
dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu
diperhatikan. Misalnya ketersediaan gedung sekolah, bangku, meja dan
sebagainya.

E. Lingkup Sosial Masyarakat.

Dalam menerapakan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara
langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak,
baik positif maupun negatif, dalam pelaklsanaan pembahruan pendidikan.
Masyarakat secara tidak langsung atau tidak langsung, sengaja maupun
tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan
dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik
terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa
melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan
terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau
dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan
sebaliknya akan membantu inovator dan pelaksana inovasi dalam
melaksanakan inovasi pendidikan.

Kata Kunci: inovasi, perubahan, penolakan, kurikulum, siswa, guru, fasilitas,
inovator, pelaksana, masyarakat, sekolah, keterlibatan,
top-down-bottom-up, sosial, program, pendidikan


6.Kesimpulan

Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa
berdiri sendiri, tapi harus melibatakan semua unsur yang terkait di
dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan
siswa. Disamping itu, keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja
ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi juga oleh masyarakat
serta kelengkapan fasilitas.

Inovasi pendidikan yang berupa top-down model tidak selamanya bisa
berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan oleh banyak hal antara lain
adalah penolakan para pelaksana seperti guru yang tidak dilibatkan
secara penuh baik dalam perencananaan maupun pelaksanaannya. Sementara
itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model dianggap sebagai suatu
inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti karena para pelaksana
dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai pada
pelaksanaan. Oleh karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab
terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka ciptakan.
------------------------------------------------------------

Bertitik tolak dari kajian di atas, maka terdapat beberapa hal yang diperlukan  dalam pengembangan kebijakan di kabupaten Badung dalam peningkatan mutu pendidikan, antara lain.
  1. Sebagai upaya awal untuk menghindari terjadinya ego sektoral dan menghindari terus berkembangnya fanatisme daerah dalam pendidikan di kabupaten badung, maka dipandang perlu adanya peninjauan kembali tentang penamaan sekolah dari jenjang sekolah menengah pertama sampai sekolah menengah atas dengan melakukan penamaan secara berurutan nama sekolah sesuai tahun berdirinya. Contoh : SMA N 1 Kuta misalnya menjadi SMA N 1 Badung, SMA N 2 Mengwi Misalnya menjadi SMA N 2 Badung, dan seterusnya.
  2. Dalam penerimaan siswa baru tidak adanya perlakuan yang pilih kasih dengan sistem urutan NEM tertinggi di berikan ke Salah satu SMA yang dianggap pavorit dan sisanya dilimpahkan ke sekolah lain. Dari sistem ini terjadilah kesenjangan input di sekolah dan akan berimbasnya out put yang dihasilkan. Dari situasi tersebut berdampak pada adanya sekolah yang memiliki siswa di bawah standar dan juga harus dicerdaskan sebagai anak bangsa.
  3. di dalam pemberian bantuan dana pembangunan hendaknya melalui pengkajian maksimal dengan mengedepankan skala prioritas sekolah yang memang lebih memerlukan fasilitas pendidikan baik gedung maupun perangkat lainnya sebagai bagian pengembangan mutu pendidikan. Pemberian bantuan dana bukan semata karena hubungan politik atau kedekatan wilayah.
  4.  dalam pemungutan operasional melalui komite hendaknya melalui pengkajian bersama dan menjadi keputusan bersama sehingga tidak menimbulkan overload dana di satu sekolah yang pavorit tetapi menjadi sekolah miskin di satu sekolah karena keberadaan ekonomi yang masih merangkak. Untuk masalah ini hendaknya ada kebijakan yang merumuskan memberi bantuan dana bagi sekolah yang wilayah ekonominya masih merangkak.

Daftar Pustaka :
Cece Wijaya, Djaja Jajuri, A. Tabrani Rusyam (1991) Upaya Pembaharuan
dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran. Penerbit PT. Rem
aja
Rosdakarya- Bandung 1991.
Subandijah (1992) Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. PT Raja Grafindo
Persada-Yogyakarta