Kamis, 20 Januari 2011

pengembangan kurikulum

BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang Masalah
Paradigma baru pendidikan terus bergeser dengan bergulirnya era global dan era otonomi daerah. Hal ini telah mempengaruhi berbagai aspek pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Kemampuan  manajemen dan profesionaliisme pengelola pendidikan  mulai dipertanyakan karena  adanya  indikator  bahwa  mutu pendidikan belum meningkat secara signifikan. Fenomena tentang pendidikan di Indonesia adalah  rendahnya mutu pendidikan di setiap jenjang dan satuan pendidikan, bahkan menurut data yang dikeluarkan oleh UNDP  pada tahun 2004  mutu pendidikan Indonesia berada pada urutan ke 111 dari 174 negara yang  disurveynya hal  tersebut merupakan realita dan sekaligus merupakan  tantangan bagi dunia pendidikan yang perlu mendapat perhatian dan kajian yang lebih serius oleh seluruh lapisan masyarakat dan khususnya oleh para pengambil kebijakan serta pelaku pendidikan di indonesia.
Sektor pendidikan merupakan salah satu faktor yang cukup strategis dalam rangka pengelolaan sumber daya manusia, guna menghasilkan sumber daya yang bermutu, agar siap menghadapi segala macam tantangan dalam persaingan global. Dalam sistem pendidikan, sekolah merupakan ujung tombak dan paling menentukan untuk mencapai keberhasilan tujuan yang diharapkan. Beberapa indikator esensial yang sangat menentukan mutu sekolah antara lain: siswa, kurikulum, sarana prasarana, tenaga kependidikan, pengelolaan  atau manajemen dan lingkungan. (Fuad Hasan, 1988).
Salah satu indikator sebagaimana tersebut di atas adalah pengelolaan atau manajemen sekolah. Pengelolaan atau manajemen sekolah memegang peranan penting dalam mencapai keberhasilan sekolah. Manajemen berkaitan erat antara pencapaian tujuan dan cara memanfaatkan sumber-sumber daya yang dapat digunakan. Manajemen perusahaan dan manajemen pemerintahan termasuk manajemen  sekolah pada dasarnya  ada persamaan yaitu sama-sama melibatkan sumber daya manusia sebagai subyek serta pendayagunaan sumber daya secara efektif dan  efisien. Manajemen perusahaan tujuannya profit berupa materi semata, Sedangkan manajemen pemerintahan termasuk manajemen sekolah keuntungannya berupa kesejahteraan masyarakat, pemerintah dan manfaat sosial.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia saat ini telah mengembangkan empat (4) level paradigma baru program pendidikan sekolah yaitu;  (1) program pendidikan yang berorientasi broad-based atau community base education, (2) pengembangan substansi materi yang berbasis kecakapan hidup (lifeskill), (3) pengelolaan proses belajar mengajar yang berorientasi pada peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality improvement), dan (4) pelaksanaan manajemen sumberdayanya berorientasi pada (school based management) atau manajemen berbasis sekolah yang disingkat MBS.
Rendahnya manajemen pendidikan pola lama merupakan bukti empiris yang dapat dijadikan  tolak ukur dalam menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan.  Dengan dicanangkan dan diundangkannya kebijakan otonomi daerah sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dan peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah daerah dan provinsi sebagai Daerah Otonom.
Menurut Sutama (2003), penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia diduga disebabkan oleh faktor-faktor seperti : 1) dikendalikan oleh stake holder tunggal yaitu birokrasi pemerintah, 2) adanya korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), 3) lemahnya penegakan hukum, 4) visi yang tidak jelas, 5) lemahnya komitmen pemerintah, dan 6) kualitas dan kuantitas guru belum memadai. Mutu pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kinerja guru. Untuk meningkatkan kinerja guru bukanlah hal yang mudah karena harus diketahui lebih dahulu hal-hal apa saja yang dapat berpengaruh atau berhubungan dengan kinerja guru.
Guru memiliki peran sentral dalam pendidikan  karena guru secara langsung terlibat dalam  masalah  mutu  pendidikan. Dengan demikian jika menegemukakan  masalah mutu pendidikan harus pula dikaitkan dengan  masalah guru, karena guru sangat besar perannya dalam menentukan mutu pendidikan yang didorong oleh faktor-faktor yang lain seperti peran masyarakat dan kepala sekolah sebagai motivator ekstrinsik bagi guru dalam melaksanakan tugas-tugas keguruannya disamping motivasi intrinsik yang dimiliki oleh guru yang terwujud melalui sikap guru terhadap profesinya.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa profesionalisme tenaga kependidikan merupakan salah satu syarat utama dalam mencapai keberhasilan pengembangan sekolah. Pasal 30 ayat 2 Undang –Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa tenaga kependidikan berhak memperoleh pembinaan karier sesuai dengan prestasi kerjanya, sedangkan pasal 30 ayat 4 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa tenaga kependidikan berkewajiban meningkatkan kemampuan profesionalnya.
Supriadi (2001) mengatakan untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki 5 hal yaitu : (1) guru memiliki komitmen yang tinggi pada siswa dan proses pembelajaran, (2) guru memiliki tanggung jawab terhadap pemantauan hasil belajar, (3) guru berfikir sistematis tentang apa yang diajarkan, (4) guru harus selalu belajar dari pengalaman dan (5) guru menjadi bagian dari masyarakat belajar di lingkungan profesinya.  Sedangkan Depdikbud (1985) mengemukakan bahwa guru memiliki kinerja tinggi, adalah guru yang memiliki 10 kemampuan dasar professional. Kemampuan professional atau kompetensi yang dimaksud yaitu : (1) Kemampuan menguasai bahan ajar, (2) kemampuan mengelola program pembelajaran, (3) kemampuan mengelola kelas, (4) kemampuan memilih dan menggunakan media dan sumber belajar, (5) kemampuan menerapkan prinsip landasan pendidikan, (6) kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar, (7) kemampuan menilai prestasi belajar siswa, (8) kemampuan mengenal fungsi dan program layanan dan bimbingan penyuluhan, (9) kemampuan mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan (10) kemampuan menganalisis hasil-hasil penelitian pendidikan dan mengimplementasikan dalam proses pembelajaran.
Undang-ndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikana Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada Standar Isi (SI) dan Standar Kompotensi Lulusan (SKL) serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP).
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang mengacu pada standar nasional pendidikan dimaksudkan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar Nasional Pendidikan terdiri atas ; (1) Standar Isi, (2) Standar Proses, (3) Standar Kompotensi Lulusan, (4)Standar Pendidik dan Tenaga Pendidik, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan dan  (8) Standar Penilaian Pendidikan. Tiga dari delapan standar pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi, Standar Kompotensi Lulusan dan Standar Penilaian merupakan acuan utama dalam pengembangan kurikulum terutama dalam pengembangan bahan ajar guru.
Untuk memenuhi amanat Undang-Undang tersebut dan guna mencapai tujuan pendidikan nasional pada umumnya, serta tujuan pendidikan sekolah secara khusus maka setiap sekolah diwajibkan untuk melaksanakan pengembangan kurikulum. Melalui KTSP sekolah dapat melaksanakan program pendidikannya sesuai dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan peserta didik. Untuk itu dalam pengembangannya melibatkan seluruh warga sekolah dengan berkoordinasi pada Dinas terkait dan yang berkepentingan dalam dunia pendidikan.
Dalam pengembangan kurikulum untuk keperluan guru dalam proses pembelajaran diharuskan mengelola administrasi pembelajaran dengan berorientasi pada kurikulum  sekolah bersangkutan. Dalam penyusunan administrasi pembelajaran tetap berpatokan pada Panduan Penyusunan Kurikulum dari BNSP. 
2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan yang dapat ditulis adalah :
2.1    Apakah hakekat , fungsi dan peranan dari Kurikulum?
2.2     Bagaimanakah keterkaitan kurikulum dengan pengajaran?










BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Hakikat Kurikulum
Di Indonesia istilah kurikulum baru dikenal sejak era 50-an, yang sebelumnya dikenal adalah ”rencana pelajaran”. Hilda Taba dalam bukunya ”Curiculum Developmen, Theory and Practice”sering mengartikan kurikulum sebagai ”a Plan For Learning”,yakni sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh anak-anak.
Nasution (1982), menuliskan definisi beberapa ahli tentang kurikulum, antara lain ;
a.    J. Galen SAYLOR DAN William M. Alexander, dalam ”curiculum Planning For Better Teaching And Learning”,1965 menjelaskan arti kurikulum sebagai segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak itu belajar, apakah dalam ruangan kelas, di halaman sekolah, atau di luar sekolah termasuk kurikulum.Kurikulum meliputi segala pengalaman yang disajikan oleh sekolah agar anak mencapai tujuan yang ditentukan oleh guru;
b.    Harold. B. Albert,Cs, dalam ”Reorganizing the High School Curiculum”, 1965 memandang kurikulum sebagai ”all of the activities that are provided for the students by the school”. Dengan kurikulum dimaksud segala kegiatan yang disajikan oleh sekolah bagi pelajar , Tidak diadakan pembatasan yang disajikan antara  kegiatan di dalam kelas dan di uar kelas;
c.    B. Othanel Amith, W.O. Stanley, dan J. Harlon Shores, memandang kurikulum sebagai ”a sequence of potential experiences set up the school for the porpuse of disciplining children and youth in group ways of thinking and acting”. Mereka mengartikan kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak, yang diperlukan agar mereka dapat berpikir dan berkelakuan sesuai dengan masyarakatnya
Dari beberapa pandangan tentang kurikulum tersebut tampak sebagai usaha , bahwa kurikulum berhubungan erat dengan pengembangan peserta didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Print memandang bahwa kurikulum meliputi perencanaan  pengalaman belajar, program sebuah lembaga pendidikan yang diwujudkan dalam sebuah dokumen serta hasil dari implementasi dokumen yang telah disusun (Wina Sanjaya, 2008:4).
Dari penelusuran konsep , kurikulum memiliki tiga dimensi pengertian, yakni kurikulum sebagai mata pelajaran,kurikulum sebagai pengalaman belajar dan kurikulum sebagai perencanaan program pembelajaran.
Dalam konsep kurikulum sebagai mata pelajaran biasanya erat kaitannya dengan usaha memperoleh ijazah. Dalam dimens ini kurikulum berorientasi kepada isi atau materi pelajaran (content oriented), sehingga pada hakekatnya kurikulum ini adalah kurikulum yang berisikan bidang studi. Kurikulum sebagai mata pelajaran dalam proses perencanaannya memiliki ketentuan: (a) perencanaan kurikulum biasanya menggunakan judgment ahli bidang studi, (b) dalam menentukan dan menyeleksi kurikulum perlu dipertimbangkan beberapa  hal seperti tingkat kesulitan, minat siswa, urutan bahan pelajaran, dan lain sebagainya, (c) Perencanaan dan implementasi kurikulum ditekankan kepada penggunaan metode dan strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai materi pelajaran .
Perkembangan kurikulum sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas siswa dalam memahami kurikulum sekolah, tidak cukup hanya dengan melihat dokumen kurikulum sebagai suatu program tertulis, akan tetapi bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan anak didik baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Kurikulum sebagai perencanaan belajar diantaranya dikemukakan oleh Hilda Taba (1962) : ”A Curiculum is a plan for learning; therefore, what is known about the learning process and the development of the individual has bearing on the shaping of curiculum”. Pendapat ini sejalan dengan rumusan kurikulum menurut Undang-Undang Pendidikan No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Kurikulum merupakan sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentag tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata (Wina Sanjaya, 2008:10).
B.    Peran Dan Fungsi Kurikulum
Kurikulum dipersiapkan dan dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan, yakni mempersiapkan peserta didik agar mereka dapat hidup di masyarakat. Sebagai salah satu komponen dalam sistem pendidikan, kurikulum memiliki tiga peran,yaitu peranan konservatif, peranan kreatif,  serta peranan kritis dan evaluatif (Hamalik, 1990 Dalam Wina Sanjaya, 2008:10).
Masing-masing dari peran tersebut akan dibahas sebagai berikut:
1)    Peranan Konservatif , salah satu tugas dan tanggung jawab sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan adalah mewariskan nilai-nilai dan budaya masyarakat kepada siswa. Peran konservatif kurikulum adalah melestarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan budaya leluhur.  Melalaui Peran konservatif nya, kurikulum berperan dalam menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat.
2)    Peran Kreatif, selain menjaga nilai-nilai luhur bangsa, sekolah bertanggungjawab dalam mengembangkan hal-hal baru sesuai dengan perkembangan di jaman global. Dengan perilaku dinamis dari masyarakat ini maka kurikulum memiliki peran kreatif. Dalam peran kreatifnya kurikulum harus mengandung hal-hal baru yang membantu siswa untuk mengembangkan setiap potensi yang dimiliki agar dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang bersifat dinamis.
3)    Peran kritis dan evaluatif, dalam prosesnya ini sekolah tidak semestinya hanya mengembangkan hal baru dengan mengesampingkan nilai masa lalu, karena ada kalanya nilai masa lalu lebih baik dari nilai baru yang dikembangkan. Berkaitan dengan hal tersebut, kurikulum berperan dalam menyeleksi nilai dan budaya yang perlu dipertahankan, dan nilai atau budaya baru yang harus dimiliki anak didik.
Sesuai dengan peran yang dimiliki, kurikulum sebagai alat dan pedoman pendidikan  harus memiliki isi yang sejalan dengan tujuan pendidikan. Fungsi kurikulum menurut Mc Neil (dalam Wina Sanjaya,2008:12) , meliputi :
(1)     Fungsi Pendidikan Umum (Common And General Education), merupakan fungsi kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab . Kurikulum harus memberikan pengalaman belajar  kepada peserta didik agar mampu menginternalisasi nilai-nilai kehidupan.
(2)    Suplementasi (supplementation), kurikulum sebagai alat pendidikan seharusnya memberikan pelayanan kepada setiap siswa dengan perbedaan yang dimiliki siswa baik dalam minat, bakat,maupun perbedaan  kemampuan.
(3)    Eksplorasi (exploration), fungsi eksplorasi memiliki makna bahwa kurikulum harus dapat menemukan dan mengembangkan minat dan bakat masing-masing siswa.
(4)    Keahlian (spesialization), kurikulum berfungsi sebagai pedoman mengembangkan kemampuan anak sesuai dengan keahliannya yang didasarkan atas minat dan bakat siswa. Kurikulum harus memberikan pilihan berbagai bidang keahlian.

C.    Keterkaitan Kurikulum dan Pengajaran
Kurikulum dan pengajaran merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dan tujuan pendidikan serta isi yang harus dipelajari. Sedangkan pengajaran adalah proses yang terjadi dalam interaksi belajar dan mengajar antara guru dan siswa.
Oliva (1992) dalam Wina Sanjaya,2008:17 mengungkapkan bahwa kurikulum dan pengajaran memiliki keterkaitan yang sangat erat. Kurikulum berhubungan dengan isi/materi yang harus dipelajari sedangkan pengajaran berkaitan dengan cara mempelajarinya. Keterkaitan antara kurikulum dan pengajaran dapat dilihat dari bagan berikut.










Penjelasannya:
Isi dalam sistem pengembangan kurikulum bersumber dari budaya masyarakat.  Berdasarkan budaya tersebut ditentuan kriteria penusunannya dan kriteria pemilihannya. Selanjutnya sitem pengembangan kurikulum akan menghasilkan rangkaian pengajaran serta hasil yang diharapkan sesuai dengan kurikulum.
    Walaupun antara kurikulum dan pengajaran merupakan dua sisi yang terkait, namun dalam proses pengajaran dan pembelajaran dapat terjadi berbagai kemungkinan hubungan antara keduanya. Oliva (1992) dalam Wina Sanjaya (2008:20) menggambarkan kemungkinan tersebut dalam beberapa model, sebagai berikut :
a.    Model Dualistic, pada model ini kurikulum dan pengajaran terpisah. Kurikulum yang menjadi input dalam menata pengajaran tidak tampak, demikian juga pengajaran yang seharusnya memberi balikan penyempurnaan tidak terjadi karena kurikulum dan pengajaran berjalan sendiri. Seperti gambar berikut.




b.    Model berkaitan, dalam model ini kurikulum dan pengajaran dianggap sebagai suatu sistem yang keduanya memiliki hubungan. Antara kurikulum dan pengajaran terdapat bagian-bagian yang memilki keterkaitan. Keterkaitan model ini dapat digambarkan seperti di bawah   ini.







c.    Model Konsentris, dalam model ini kurikulum dan pengajaran memiliki hubungan dengan kemungkinan kurikulum bagian dari pengajaran atau kurikulum bagian dari pengajaran. Hubungannya dapat digambarkan sebagai berikut.







d.       Model siklus, pada model ini antara kurikulum dan pengajaran memiliki hubungan yang timbal balik. Keduanya saling berpengaruh, apa yang diputuskan dalam kurikulum menjadi dasar dalam pengajaran dan apa yang terjadi dalam proses pelaksanaan pengajaran akan memberi pengaruh keputusan pada kurikulum selanjutnya. Gambar model ini dapat dilihat seperti berikut.




1.    Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum pada hakekatnya adalah proses penyusunan rencana tentang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelajari bagaimana cara mempelajarinya. Pengembangan kurikulum merupakan prose kegiatan yang disengaja dan dipikirkan untuk menghasilkan sebuah kurikulum sebagai pedoman dalam proses dan penyelenggaraan pembelajaran oleh guru di sekolah.
Seller dan miller (1990) mengemukakan bahwa proses pengembangan kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus- menerus. Rangkaian ini dapat digambarkan sebagai berikut.






                                     Implementasi
Seller memandang bahwa kurikulum dimulai dari menentukan orientasi kurikulum, yakni kebijakan-kebijakan umum , seperti arah dan tujuan pendidikan, pandangan tentang hakikat belajar dan hakikat anak didik, dan pandangan tentang keberhasilan implementasi kurikulum. Selanjutnya dikembangkan menjadi pedoman pembelajaran yang diimplementasikan ke dalam proses pembelajaran dan di evaluasi. Hasil evaluasi kemudian dijadikan bahan dalam menentukan orientasi. Bergerak membentuk sebuah siklus secara terus – menerus.
Orientasi pengembangan kurikulum menurut seller menyangkut enam aspek, yaitu : (1) Tujuan Pendidikan menyangkut arah pendidikan, (2) Pandangan tentang anak, (3) Pandangan tentang proses pembelajaran, (4) Pandangan tentang lingkungan, (5) Konsepsi tentang peranan guru, dan (6) Evaluasi belajar. Dari orientasi tersebut, maka pengembangan kurikulum memiliki dua sisi, yaitu sisi kurikulum sebagai pedoman yang membentuk kurikulum tertulis dan sisi kurikulum sebagai implementasi yang menjaqdi dasar sistem pembelajaran.
Dalam pengembangan kurikulum yang harus diperhatikan adalah isi atau muatan kurikulum. Ada dua hal yang harus dijadikan dasar dalam menentukan isi pengembangan kurikulum, yaitu rentangan kegiatan dan tujuan kelembagaan yang berhubungan dengan misi dan visi sekolah.
a)    Rentangan Kegiatan (Range Of Activity)
Pengembangan kurikulum dimulai dari kegiatan pengembangan dari lingkup paling sempit sampai paling luas. Pegembangan kurikulum dari pembelajaran di dalam kelas dalam satu unit bidang tertentu sampai pada pengembangan yang menghasilkan program kebijakan kurikulum di lingkungan sekolah. Mc neil dalam Wina sanjaya (2008) mengemukakan bahwa kegiatan pengembangan kurikulum  meliputi dua proses utama, yakni pengembangan pedoman kurikulum dan pengembangan pedoman instruksional.
b)    Tujuan Kelembagaan (Institusional Purpose)
Tujuan kelembagaan sama artinya dengan visi dan misi sekolah. Pengembangan kurikulum harus sejalan dengan visi dan misi sekolah bersangkutan  untuk mencapai tujuan sekolah. Visi dan misi setiap jenis sekolah adalah berbeda. Sekolah kejuruan  memiliki visi  dan misi untuk mempersiapkan anak didik memiliki keterampilan sesuai dengan lapangan pekerjaan tertentu, maka pengembangan isi kurikulum dilakukan melalui analisis  pekerjaan bukan melalui analisi disiplin ilmu. Sedangkan visi dan misi sekolah  yang mempersiapkan anak didik untuk mengikuti jenjang pendidikan lebih tinggi, maka analisis dalam mengembangkan kurikulum mengarah kepada analisi disiplin ilmu, seperti pemahaman konsep, fakta, dan teori.
    Agar dalam pengembangan kurikulum dapat berfungsi sebagai pedoman , terdapat sejumlah prinsip dalam proses pengembangannya, antara lain :
1)    Prinsip Relevansi:  dalam pengembangan kurikulum agar siswa dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat dan membekali siswa baik dalam bidang pengetahuan, sikap maupun keterampilan , maka pengalaman belajar yang disusun dalam kurikulum harus relevan dengan keutuhan masyarakat. Terdapat dua macam relevansi dalam pengembangan kurikulum. Pertama, relevansi internal, adalah bahwa setiap kurikulum harus memiliki keserasian antara kompoen-komponennya, yaitu keserasian antara tujuan yang harus dicapai, isi, materi atau pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa, strategia tau metode yang digunakan serta alat penilaian untuk melihat ketercapaian tujuan. Relevansi internal menunjukkan keutuhan suatau kurikulum. Kedua, adalah relevansi eksternal, adalah yang berkaitan dengan keserasian antara tujuan, isi, dan proses belajar siswa dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dalam pengembangan kurikulum ini harus mengikuti relevansi antara kurikulum dengan lingkungan hidup peserta didik,  relevan dengan perkembangan jaman baik sekarang maupun yang akan datang, kurikulum relevan dengan tuntutan dunia kerja.
2)    Prisip Fleksibiltas: Kurikulum harus bersifat lentur atau fleksibel, artinya kurikulum harus bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada. Kurikulum harus memenuhi dua prinsip fleksibilitas, yaitu fleksibel bagi guru , yang mana kurikulum mampu memberikan ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan dan melaksanakan kurikulum sesuai kondisi yang ada, dan kurikulum harus fleksibel bagi siswa, artinya kurikulum menyediakan berbagai kemungkinan program pilihan sesuai dengan bakat dan minat siswa.
3)    Prinsip Kontinuitas; prinsip ini mengandung makana bahwa perlu dijaga saling keterkaitan dan kesinambungan antara materi pelajaran pada berbagai jenjang dan jenis program pendidikan.Untuk menjaga agar prinsip kontinuitas dapat berjalan, maka perlu ada kerjasama antara pengembang kurikulum pada setiap jenjang pendidikan.
4)    Prinsip Efektifitas; Dalam pengembangan kurikulum terdapat dua sisi efektifitas, yaitu efektifitas yang berhubungan dengan kegiatan guru dalam melaksanakan tugas mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas, dan efektifitas kegitan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan jangka waktu tertentu.
5)    Prinsip Efisiensi ;berhubungan dengan perbandingan antara tenaga, waktu, suara, dan biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Kurikulum memiliki tingkat efisiensi tinggi jika dengan sarana, biaya minimal dan waktu terbatas dapat memperoleh hasil  maksimal.
2.    Landasan Pengembangan Kurikulum
Dalam pengembangan kurikulum . kita tidak hanya melakukan kajian terhadap prinsip dalam pengembangannya. Pengembangan kurikulum memiliki tiga landasan yang harus diperhatikan, antara lain landasan pilosofis, landasan psikologis dan landasan sosiologis-teknologis. Ketiga landasan tersebut akan diuraikan di bawah ini.
A.    Landasan Filosofis Dalam Pengembangan Kurikulum
Sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Terdapat empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulu, antara lain :
a)    Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan hidup atau value system  dapat menentukan arah siswa didik.
b)    Filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang dicapai.
c)    Filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Filsafat sebagai sistem nilai dapat dijadikan pedoman merancang kegiatan pembelajaran
d)    Filsafat dapat menentukan tolok ukur keberhasilan proses pendidikan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan landasan pilosofis
kurikulum , antara lain:
a.    Filsafat dan Tujuan pendidikan
Hummel (1977) dalam Wina Sanjaya (2008:43) menyatakan tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan tujuan pendidikan, yaitu : 1) autonomy,artinya memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yag prima kepada setiap individu dan kelompok untuk mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik; 2) equity , artinya pendidikan harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi; dan survival, Pendidikan disamping memberikan jaminan dalam pewarisan budaya leluhur tetapi juga memberikan pemahaman akan saling ketergantungan antar manusia
Filsafat sebagai sistem nilai (value) harus menjadi dasar dalam menentukan tujuan pendidikan, artinya pandanan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik oleh suatau masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai.
b.    Filsafat Sebagai Proses Berpikir
Filsafat sering diartikan sebagai cara berpikir. Sidi Gazalba dalam Wina Sanjaya (2008:46) mengemukakan ciri-ciri berpikir filosofis sebagai berpikir yang radikal, sistematis, dan universal. Berpikir radikal adalah erpikir sampai ke akar-akarnya, berpikir sistematis adalah berpikir logis yang bergerak bertahap dan penuh urutan yang dapat dipertanggungjawabkan dan berpikir universal merupakan cara berpikir yang menyeluruh untuk menemukan sebuah kebenaran.
B.    Landasan Pikologis Dalam Pengembangan Kurikulum
Kurikulum adalah pedoman guru dalam mengantar anak didik sesuai tujuan dan harapan pendidikan. Secara psikologis anak didik memiliki keunikan dan perbedaan  dalam bakat, minat dan kemampuan maupun potensi yang dimiliki sesuai dengan tahapan perkembangannya. Berpijak dari alasan ini, kurikulum harus memperhatikan kondisi psikologi  perkembangan dan psikologi belajar anak.
a)    Psikologi perkembangan anak
Pentingnya masa perkemangan anak ini disebabkan beberapa hal, yaitu setiap anak didik memiliki tahapan atau masa perkembangan tertentu, anak didik yang sedang mengalami perkembangan merupakan periode yang menentukan kesuksesan hidup mereka, dan pemahaman akan perkembangan anak akan memudahkan dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan, baik yang menyangkut proses pemberian bantuan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi.
Menurut Piaget, perkembangan ntelektual (kognitif) setiap individu berlangsung dalam tahapan-tahapan tertentu. Tahapan ini terdiri dari empat fase, yaitu : 1) sensorimotor, mulai dari lahir sampai 2 tahun, 2) praoperasional, mulai dari 2 sampai 7 tahun, 3) operasional konkret, berkembang dari 7 sampai 11 tahun, dan 4) operasional formal, yang perkembangnnya dimulai dari 11 sampai 14 tahun ke atas.
b)    Psikologi belajar
Pengembangan kurikulum tidak terlepas dari teori belajar, sebab pada dasarnya kurikulum disusun un tuk membelajarkan siswa.
C.    Landasan Sosiologis-Teknologis Dalam Pengembangan Kurikulum
Sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar dapat berperan aktif di masyarakat. Untuk itu kurikulum harus relevan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.Sehubungan dengan hal tersebut dalam proses pengembangan kurikulum dalam landasan sosiologis-teknologis perlu memperhatikan beberapa hal, sebagai berikut :
a)    Kekuatan sosial yang dapat mempengaruhi kurikulum
Masyarakat selalu mengalami perubahan, baik pada sistem nilai, pola kehidupan struktur sosial, kebutuhan dan tuntutan masyarakat.Untuk itu akan terjadi berbagai tekanan pada penngembang kurikulum dalam proses pengembangan isi kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan. Pengembang kurikulum harus memenuhi tekanan dan tuntutan yang ada dengan meyerap informasi yang ada dan sesuai kbutuhan mayarakat dalam pengembangn kurikulum. Dalam konteks ini pengembang kurikulum perlu menjalankan peran evaluatif dan kritisnya dalam menentukan muatan kurikulum.
b)    Kemajuan IPTEK sebagai bahan pertimbangan penyusunan kurikulum
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi  sebagai hasil kemampuan berpikir manusia telah membawa pada perubahan signifikan dalam pengelolaan kurikulum. Sesuai dengan perubahan tersebut, maka kurikulum yang berfungsi sebagai alat pendidikan, harus terus diperbarui menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya.
Dalam pengembangan kurikulum yang perlu dipeerhatikan adalah :1) perubahan pola hidup, perubahan ini memberikan konskwensi terhadap cara dan strategi yang harus dipersiapkan oleh lembaga pendidikan. Kurikulum harus didesain agar mampu membentuk manusia yang produktif;  2) perubahan kehidupan sosial politik, arus globalisasi memberikan perubahan dalam  kehidupan sosial politik manusia.
Dengan munculnya reformasi pendidikan diarahkan untuk memunculkan manusia yang kritis dan demokratis. Dengan adanya kewenangan di daerah sesuai UU no 22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah, pengembang kurikulum harus melakukan beberapa hal, yaitu 1) mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat seperti yang dirumuskan UU, Perpu dan Perda, 2) menganalisi budaya masyarakat tempat sekolah berada, 3) menganalisi kekuatan serta pote3nsi-potensi daerah, 4) menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja, serat 5) menginterpretasi kebutuhan individu dalam kerangka kepentingan masyarakat.
3.    Desain Kurikulum
Desai n adalah sebuah rancangan, pola atau model.Mendesain kurikulum berarti menyusun rancangan atau menyusun model kurikulum sesuai dengan visi dan misi sekolah. Para ahli merumuskan macam-macam desain kurikulum. Eissner dan Vallance (1974) membagi desain menjadi lima jenis, yaitu model pengembangan proses kognitif, kurikulum sebagai teknologi, kurikulum aktualisasi diri, kurikulum rekonstruksi sosial, dan kurikulum rasionalisasi akademis.  McNeil (1977) membagi desai kurikulum dalam empat model, yaitu kurikulumhumanistis, kurikulum rekonstruksi sosial, kurikulum teknologi, kurikulum subjek akademik.  Saylor Alexander dan Lewis ( 1981) memagi desain kurikulum dalam kurikulum subject matter disiplin, kurikulum teknologi, kurikulum sebagai proses, kurikulum sebagai fungsi sosial, dan kurikulum berdasarkan minat individu.
Dalam Wina Sanjaya (2008:64) desain kurikulum meliputi desain  kurikulum disiplin ilmu, desain kurikulum berorientasi pada masyaraka, desain kurikulum berorientasi pada siswa, dan desain kurikulum teknologis. Masing-masing desain kurikulum akan dibahas di bawah ini.
1)    Desain Kurikulum disiplin ilmu
Menurut Longstreet (1993) desain kurikulum ini merupakan desain kurikulum yang berpusat pada pengetahuan (the knowledge centered curriculum) yang dirancang berdasarkan struktur disiplin ilmu. Desain kurikulum ini berfungsi mengembangkan proses kognitif atau pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui latihan mengguanakan gagasan dan melakukan proses penelitian ilmiah.
Dalam implementasinya desain ini menggunakan strategi ekspositori. Melalui strategi ini , gagasan atau informasi guru disampaikan secara langsung kepada siswa. Selanjutnya siswa dituntut untuk memahami, mencari landasan logika dan dukungan fakta yang dianggap relevan.
2)    Desain kurikulum berorientasi pada masyarakat
Rancangan kurikulum ini didasrkan pada sebuah asumsi bahwa tujuan dari sekolah adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat, sehingga kebutuhan masyarakat menjadi dasar isi kurikulum. Kurikulum dirumuskan sebagai sebuah desain kelompok sosial untuk dijadikan pengalaman belajar anak di dalam sekolah, artinya permasalahan yang dihadapi dan dibutuhkan  oleh suatu kelompok sosial harus menjadi bahan kajian anak didik di sekolah.
Tiga kriteria dalam proses implementasi kurikulum ini. Ketiganya menuntut pembelajaran nyata (real), berdasarkan pada tindakan (action), dan mengandung nilai (value). Tiga kriteria tersebut antara lain : (a) siswa harus memfokuskan kepada salah satu aspek yang ada di masyarakat yang dianggap perlu untuk dirubah, (b) siswa harus melakukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi masyarakat, (c) tindakan siswa harus didasarkan pada nialai (values).
3)    Desain Kurikulum berorientasi pada siswa.
Kurikulum ini memiliki asumsi bahwa pendidikan diselenggarakan untuk membantu anak didik. Kurikulum yang berorientasi pada siswa menekankan kepada siswa sebagai sumber isi kurikulum. Dalam mendesain kurikulum yang berorientasi pada siswa, Alice Crow (Crow & Crow, 1955) menyarankan hal-hal sebagai berikut: (a) kurikulum harus disesuaikan dengan perkembangan anak; (b) isi kurikulum harus mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dianggap berguna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang; (c) anak hendaknya ditempatkan sebagai subjek belajar yang berusaha untuk belajar sendiri, artinya siswa didorong untuk melakukan berbagai aktivitas belajar, bukan sekedar menerima informasi guru; (d) diusahakan apa yang dipelajari siswa sesuai dengan minat, bakat dan tingkat perkembangan anak. Artinya apa yang seharusnya dipelajari bukan ditentukan dan dipandang baik dari sudut guru atau orang lain tetapi ditentukan dari sudut anak itu sendiri.
4)    Desain kurikulum teknologis
Model desain kurikulum teknologi difokuskan dalam efektivitas program, metode, dan bahan-bahan yang dianggap untuk mencapai tujuan. Teknologi mempengaruhi kurikulum dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerapan hasil-hasil teknologi dan penerapan teknologi sebagai suatu sistem.
Sisi pertama yang berhubungan dengan penerapan teknologi adalah perencanaan yang sistematis dengan menggunakan media atau alat dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan sisi kedua teknologi sebagai sistem menekankan kepada penyusunan program pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem yang ditandai dengan perumusan tujuan khusus sebagai tujuan tingkah laku yang harus dicapai. Penerapan teknologi sebagai sistem tidak ditentukan oleh penerapan hasil-hasil  teknologi tetapi terlihat dalam merancang implementasi kurikulum dengan pendekatan sistem.
4.    Model pengembangan Kurikulum
Menurut Good (1972) dan Travers (1973) , model adalah abstraksi dunia nyata atau representasi peristiwa kompleks atau sistem, dalam bentuk naratif, matematis, grafis serta lambang-lambang lainnya. Model berfungsi sebagai sarana untuk mempermudah komonikasi atau sebagai petunjuk yang bersifat perspektif untuk mengambil keputusan, atau sebagai petunjuk perencanaan untuk kegiatan pengelolaan.
Nadler (1988) menjelaskan beberapa manfaat model, antara lain : a) model dapat menjelaskan beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia; b) model dapat mengintegrasikan seluruh pengetahuan hasil observasi dan penelitian; c) model dapat menyederhanakan suatu proses yang bersifat kompleks; dan d) model dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan.
Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa model yang dapat digunakan, antara lain :
1.    Model Tyler
Model kurikulum Tyler  merancang kurikulum sesuai dengan  tujuan dan misi suatu institusi pendidikan. Menurut Tyler terdapat empat hal dalam mengembangkan kurikulum, yaitu :
a.    Menentukan tujuan, dalam penyusunan suatu kurikulum , merumuskan tujuan merupakan langkah pertama dan utama yang harus dikerjakan. Tujuan merupakan arah atau sasaran pendidikan. Tyler menjelaskan bahwa perumusan tujuan bersumber dari siswa, studi kehidupan masa kini, disiplin ilmu, filosofis, dan psikologi belajar.
b.    Menentukan Pengalaman belajar, langkah kedua adalah merumuskan pengalaman belajar bersumber dari tujuan pembelajaran. Pengalaman belajar adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pengalaman belajar menunjuk kepada aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Terdapat beberapa prinsip dalam menentukan pengalaman belajar siswa, yaitu pengalaman belajar harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, setiap pengalaman belajar harus memuaskan siswa, setiap rancangan pengalaman belajar siswa melibatkan seluruh siswa, dan dalam satu pengalaman belajar dapat mencapai tujuan yang berbeda.
c.    Mengorganisasi pengalaman belajar, terdapat dua jenis pengorganisasian pengalaman belajar, yaitu pengorganisasian secara vertikal , yaitu menghubungkan pengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam tingkat yang berbeda dan pengorganisasian secara horisontal, artinya menghubungkan pengalaman belajar dalam bidang geografi dan sejarah dalam tingkat yang sama.
d.    Evaluasi, proses evaluasi merupakan langkah penting untuk mendapatkan informasi tentang ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan. Terdapat dua aspek berkaitan dengan evaluasi, antara lain : (1) evaluasi harus menilai perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dan (2) evaluasi menggunakan lebih dari satu alat penilaian dalam satu waktu tertentu. Evaluasi memiliki fungsi sumatif, artinya evaluasi digunakan untuk memperoleh data ketercapaian tujuan oleh peserta didik, serta fungsi formatif, artinya evaluasi digunakan untuk melihat efektifitas pembelajaran.
2.    Model Taba
Model Taba menitikberatkan pengembangan kurikulum sebagai proses perbaikan dan penyempurnaan. Menurut Taba pengembangan kurikulum sebaliknya dilakukan melalui pendekatan induktif. Ada beberapa prinsip langkah pengembangan kurikulum model Taba, yaitu
a.    Menghasilkan unit-unit percobaan melalui langkah : Mendiagnosis kebutuhan, Memformulasikan tujuan, Memilih isi, Mengorganisasi isi, Memilah pengalaman belajar, Mengorganisasi pengalaman belajar, Menetukan alat evaluasi serta prosedur yang dilakukan siswa, Menguji keseimbangan kurikulum
b.    Menguji coba unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka menemukan validitas dan kelayakan penggunaannya
c.    Merevisi dan mengkonsolidasikan unit-unit eksperimen berdasarkan data yang diperoleh dalam uji coba
d.    Mengembangkan keseluruhan kerangka kurikulum
e.    Implementasi dan diseminasi kurikulum yang telah teruji
3.    Model Oliva
Menurut Oliva suatu model kurikulum harus bersifat simpel, komprehensif, dan sistematik. Terdapat duabelas komponen dalam model Oliva, yaitu : komponen pertama perumusan filosofis, sasaran, misi serta visi lembaga pendidikan. Semuanya bersumber dari analisis kebutuhan siswa, dan analisis kebutuhan masyarakat; komponen kedua analisis kebutuhan masyarakat tempat sekolah berada, kebutuhan siswa dan urgensi dari disiplin ilmu yang harus diberikan oleh sekolah; komponen ketiga dan keempat menitik beratkan pada tujuan umum dan tujuan khusus kurikulum yang didasarkan kepada kebutuhan siswa dan masyarakat; komponen  kelima adalah mengorganisasikan rancangan dan mengimplementasikan kurikulum, komponen keenam dan ketujuh menjabarkan kurikulum dalam bentuk tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran; komponen kedelapan menetapkan strategi pembelajaran yang dapat mencapai tujuan pembelajaran.
Komponen sembilan adalah menentukan penilaian, teknik dan penyempurnaan alat dan teknik penilaian; komponen sepuluh implementasi strategi pembelajaran; dan komponen sebelas dan keduabelas adalah melakukan evaluasi terhadap pembelajaran dan evaluasi kurikulum.
4.    Model Beauchamp
Beauchamp mengemukakan lima langkah dalam proses pengembangan kurikulum, yaitu :  a) menetapkan wilayah atau arena yang akan melakukan perubahan suatu kurikulum; b) menetapkan orang-orang yang akan  terlibat dalam proses pengembangn kurikulum; 3) menetapkan prosedur yang akan ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memilih isi dan pengalaman belajar serta menetapkan evaluasi. Prosedur ini terbagi dalam lima langkah, yaitu membentuk tim pengembang kurikulum, melakukan penilaian terhadap kurikulum yang sedang berjalan, menentukan studi tentang penentuan kurikulum baru, merumuskan kriteria dan alternatif pengembangan kurikulum, menyusun dan menulis kurikulum yang dikehendaki; 4) implementasi kurikulum; dan 5) melaksanakan evaluasi kurikulum
5.    Model Wheeler
Menurut Wheeler, pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang membentuk lingkaran. Proses pengembangan kurikulum terjadi secara terus menerus.
Wheeler berpedapat pengembangan kurikulum terdiri atas lima tahap, yaitu :
a)    Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum bersifat normatif mengandung tujuan filosofis atau bersifat praktis, sedangkan tujuan khusus bersifat spesifik dan objektif yang mudah diukur ketercapainnya.
b)    Menentukan pengalaman belajar yang dapat dilakukan siswa untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalamtujuan umum dan tujuan khusus
c)    Menentukan isi atau materi pembelajaran sesuai dengan pengalaman belajar
d)    Mengorganisasi atau menyatukan pengalaman belajar dengan isi atau materi belajar
e)    Melakukan evaluasi setiap fase pengembangan dan pencapaian tujuan.
6.    Model Nicholls
Dalam bukunya Developing a Curiculum: A practical Gide (1978),  Nichols menjelaskan bahwa pendekatan pengembangan kurikulum terdiri atas elemen-elemen kurikulum yang membentuk siklus. Model ini digunakan apabila ingin menyusun kurikulum baru yang diakibatkan oleh terjadinya perubahan situasi.
Terdapat lima langkah pengembangan kurikulum menurut Nichols, yaitu :a) analisis situasi, b) menentukan tujuan khusus, c) menentukan dan mengorganisasi isi pelajaran, d) menentukan dan mengorganisasi metode, e) evaluasi
7.    Model Dynamic Skillbeck
Menurut Skillbeck pengembangan kurikulum merupakan pengembangan kurikulum pada level sekolah (school Nased Curiculum Developmen). Model ini diperuntukkan pada guru yang ingin mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan sekolah. Menurut Skillbeck , langkah-langkah pengembangan kurikulum meliputi  menganalisis situasi, memformulasikan tujuan, menyusun program, interpretasi dan implementasi, dan monitoring, feedback, penilaian dan rekonstruksi.

5.    Pengembangan Tujuan dan Isi Krikulum
1.    Pengembangan Tujuan Kurikulum
Tujuan berhubungan dengan arah atau hasil yang diharapkan. Dalam skala makro rumusan tujuan kurikulum erat kaitannya dengan filsafat atau sistem nilai yang dianut masyarakat. Perumusan tujuan kurikulum  merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah kurikulum.
Ada beberapa alasan pentingnya tujuan dirumuskan dalam sebuah kurikulum yang disusun pada satu instansi, yaitu :
a)    Tujuan erat kaitannya dengan arah dan sasaran yang harus dicapai oleh setiap upaya pendidikan
b)    Tujuan yang jelas membantu para pengembang kurikulum dalam mendesain model kurikulum yang dapat digunakan  dan membantu guru dalam mendesain sistem pembelajaran
c)    Tujuan kurikulum dapat digunakan sebagai kontrol dalam menentukan batas-batas dan kualitas pembelajaran
A.    Klasifikasi Tujuan
Menurut Bloom, dalam bukunya Taxonomy of Educational Objectives(1965), bentuk perilaku sebagai tujuan yang harus dirumuskan dapat digolongkan ke dalam tiga domain, yaitu  domain kognitif, domain afektif dan domain psikomotorik.
a)    Domain Kognitif
Domain kognitif adalah tujuan pendidikan yang berhubungan dengan kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir seperti kemampuan memecahkan masalah dan mengingat. Domain kognitif Bloom terdiri dari enam tingkat, antaralain : 1) pengetahuan (knowledge); 2) pemahaman; 3) penerapan; 4) analisis; 5) sintesis dan 5) evaluasi
b)    Domain Afektif
Domain afektif berkaitan dengan sikap, nilai-nilai dan apresiasi. Domain ini merupakan bidang tujuan kelanjutan bidang afektif. Menurut Krathwohl, dkk dalam bukunya  Taxonomy of Educational Objectives:Affective Domain, memiliki tingkatan : 1) penerimaan, 2) merespon, 3) menghargai, 4) mengorganisasi, 5) karakterisasi nilai.
c)    Domain Psikomotor
Domain psikomotor adalah tujuan yang berhubungan dengan kemampuan keterampilan seseorang. Terdapat enam tingkatan dalam domain psikomotorik, antara lain :
1)    Gerak refleks;
2)    Keterampilan dasar;
3)    Keterampilan perseptual;
4)    Keterampilan fisik;
5)    Gerakan keteramplan;
6)    Komunikasi nondiskusi
2.    Pengembangan Isi Kurikulum
Bahan atau isi kurikulum adalah isi atau muatan kurikulum yang harus dipahami siswa dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Pengembangan isi kurikulum mencakup sumber-sumber materi kurikulum, yang meliputi : Isi atau materi kurikulum bersumber pada tiga hal, yakni masyarakat beserta budayanya, siswa dan ilmu pengetahuan
a.    Masyarakat Sebagai Sumber Kurikulum
Sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar dapat hidup di masyarakat, sehingga yang diperlukan oleh masyarakat harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan isi kurikulum. Kebutuhan masyarakat yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum meliputi masyarakat dalam lingkungan sekitar (lokal) dan masyarakat dalam tatanan nasional dan global.
Kebutuhan masyarakat lokal diperlukan karena setiap daerah memiliki karakteristik dan kebutuhan berbeda sesuai letak geografisnya. Mengacu hal tersebut, maka isi kurikulum tidak perlu seragam, bila dilihat dari muatan lokalnya akan berbeda antara derah satu dengan lainnya. Dari Kebutuhan secara lokal akan mengacu terhadap kebutuhan nasional dan global.
b.    Siswa Sebagai sumber Kurikulum
Tugas dan fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan seluruh potensi siswa, maka kenutuhan siswa menjadi salah satu sumber materi/isi kurikulum. Terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam perumusan kurikulum berkaitan dengan siswa, yaitu:
1)    Kurikulum disesuaikan dengan perkembangan anak
2)    Isi kurikulum mencakup keterampilan, pengetahuan dan sikap yang dapat dimanfaatkan siswa
3)    Siswa hendaknya didorong untuk belajar secara aktif
4)    Materi yang dipelajari siswa sesuai dengan bakat dan minat dari siswa
Kebutuhan siswa sebagai dasar penetapan materi kurikulum harus memenuhi aspek psikobiologis, artinya apa yang muncul disesuaikan dengan kebutuhan psikologis dan biologi dari siswa yang dinyatakan dalam harapan dan keinginan siswa, tujuan dan minat yang dipelajari sesuai kebutuhan.
c.    Ilmu Pengetahuan Sebagai Sumber Kurikulum
Bahan atau materi/isi kurikulum dapat bersumber dari ilmu pengetahuan. Isi kurikulum diambil dari disiplin ilmu. Penentuan disiplin ilmu tiap lembaga pendidikan seperti SD, SMP, SMA dan SMK, yang kemudian menjadi bidang studi atau mata pelajaran tidak harus sama.karena lembaga memiliki visi dan misi serta tujuan yang berbeda.








BAB III
KESIMPULAN
A.    SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)    Kurikulum merupakan hal penting yang dikerjakan guru sebagai bagian dari persiapan pembelajaran yang berfungsi mempersiapkan peserta didik agar dapat hidup di masyarakat
2)    Kurikulum memiliki beberapa peranan dalam pendidikan, yaitu peran konservatif, peran kreatif, dan peran kritis
3)    Kurikuum dan pengajaran merupak hal yang tidak terpisahkan dan selalu terkait satu dengan lainnya, keterkaitan ini dapat digambarkan dalam beberapa model, yakni model dualistic, model berkaitan, model konsentris, dan model siklus
4)    Dalam pengembangan kurikulum  menyangkut beberapa landasan, antara lain landasan pilosofis, landasan psikologis, landasan sosio-teknologis yang menjadi sumber dalam mendesain kurikulum dan menentukan model kurikulum.






DAFTAR PUSTAKA



BNSP,  Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Mata Pelajaran Biologi.2007.Jakarta:Depdiknas

BNSP, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.2007.Jakarta:Depdiknas

BNSP,Standar Isi dan Standar Kompotensi Lulusan Untuk Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah.2006.Jakarta:PT.Binatama Raya.

BSCS.1963.The Green Version, Studens Manual for High School Biology,Chicago:Rand Mcnally Company.

Costa, Vincent P,dkk.2001.Panduan Pelatihan Untuk pengembangan Sekolah. Jakarta:Depdiknas

Ditjen Dikdasmen,2004. Pedoman Penunjang Kurikulum 2004 Pedoman Pembelajaran Tuntas.Jakarta : Depdiknas.

Ditjen Dikdasmen,2004. Pedoman Penunjang Kurikulum 2004 Pedoman Merancang Sumber Belajar.Jakarta : Depdiknas.

Ditjen Dikdasmen,2004. Pedoman Penunjang Kurikulum 2004 Pedoman  Memilih dan Menyusun Bahan Ajar.Jakarta : Depdiknas.

Ditjen Dikdasmen,2004. Pedoman Bahan Ajar, PedomanPenyusunan LKS SMA  .Jakarta : Depdiknas.

Depdiknas.2008.Kumpulan Permendiknas Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Panduan KTSP,Jakarta:Ditjen Mandikdasmen SMA.

Husaini Usman.2008. Manajemen (Teori, Praktik dan Riset Pendidikan).Malang:PT.Bumi Aksara.


Rohiat.2009.Manajemen Sekolah, Teori Dasar dan Praktik.Bandung:PT.Refika Aditama.

Sumandinata,Nana Syaodih,dkk.2006.Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip, dan Instrumen), Bandung: PT. Refika Aditama.

Rabu, 19 Januari 2011

KONTRIBUSI PENDIDIKAN IPA TERHADAP PEMBENTUKAN
SIKAP KEPEMIMPINAN

Pada era globalisasi dewasa ini dan pada masa  mendatang, kebutuhan akan pemimpin bangsa yang professional, mandiri, berjiwa kompetitif, serta taqwa dan beriman, tampaknya tidak dapat ditawar lagi. Sehubungan dengan hal itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki peran yang sangat strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, khususnya dalam menyiapkan pemimpin bangsa yang memiliki visi masa depan.
Pendidikan IPA sebagai salah satu bidang pendidikan, seharusnya berkontribusi dalam membentuk sikap dan masa depan, yang bercirikan profesionalisme, mandiri, kompetitif, serta taqwa dan beriman. Nah, disinilah letak tantangan bagi para pendidik dan calon pendidik pada umumnya, khususnya yang berkecimpung dalam pendidikan IPA, agar pendidikan IPA dapat mengemban misi yang dikemukakan di atas.
Dalam forum seminar ini, mari kita simak bersama mana diantara aspek-aspek dan substansi pendidikan IPA yang perlu kita optimalkan fungsinya, agar pendidikan IPA dapat memberi kontribusi yang tinggi bagi pembentukan dan pengembangan sikap kepemimpinan.

1.    Hakekat IPA dan Hakekat Pendidikan IPA
(1)    Hakekat IPA
Mendefinisikan IPA secara singkat dan sederhana serta dapat diterima secara universal tidaklah mudah. Cobalah anda definisikan sendiri sesuai dengan konsep anda, dan kemudian bandingkan dengan definisi yang dibuat oleh teman-teman anda :
Berikut ini dikemukakan batasan tentang IPA :
1)    Hunger Ford-Volk-Ramsey, mendefinisikan sains :
a.    Merupakan proses dengan mana informasi yang dapat diverifikasi diperoleh melalui metode-metode empiris.
b.    Merupakan informasi yang dihasilkan melalui investigasi yang disusun secara logis dan sistematis.
c.    Merupakan kombinasi dari proses berpikir kritis yang menghasilkan suatu produk informasi yang valid.
2)    Menurut Kurikulum 1994 :
IPA (sains) merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisir tentang alam sekitar yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah.
Proses ini antara lain meliputi penyelidikan, penyusunan, dan pengujian gagasan.
3)    Ratna Wilis Dahar, mendefinisikan sains :
Sebagai kumpulan pengetahuan yang meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori, yang dikenal sebagai produk sains, dan sains sebagai keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, yang dikenal sebagai proses sains.
Jika diperhatikan, ketiga definisi di atas tampaknya sejalan. Bahwa IPA (sains) merupakan kumpulan pengetahuan yang meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori, yang disebut produk sains, dan IPA sebagai keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap yang dibutuhkan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan yang disebut proses sains. IPA (sains) bukan hanya kumpulan pengetahuan (produk), tetapi lebih dari itu. IPA adalah human interprise yang melibatkan operasi mental, keterampilan, strategi, dan sebagainya yang dirancang manusia untuk menemukan hakekat jagat raya. Jadi, IPA memiliki dua dimensi yaitu sebagai produk dan proses.
IPA (sains) sebagai produk dan proses bukanlah merupakan dua dimensi yang terpisah, namun merupakan dua dimensi yang terjalin erat sebagai satu kesatuan. Proses IPA akan menghasilkan pengetahuan (produk), dan pengetahuan sebagai produk akan memunculkan pertanyaan baru untuk diteliti melalui proses IPA sehingga menghasilkan pengetahuan baru, demikian seterusnya. Hubungan IPA sebagai proses dan IPA sebagai produk dapat digambarkan sebagai berikut :











Gambar 1. Proses-Proses Sains

(2)    Hakekat Pendidikan IPA
Pendidikan IPA merupakan salah satu aspek pendidikan yang menggunakan IPA sebagai alatnya untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pendidikan IPA khususnya. Salah satu sasaran yang dapat dicapai melalui pendidikan IPA adalah “pengertian IPA” itu sendiri. Tujuan utama pendidikan IPA adalah mengembangkan individu yang literasi sains (scientific literacy). Literasi sains ini meliputi pengetahuan tentang sains yaitu konsep dan prinsip ilmiah, hukum-hukum dan teori-teori ilmiah,  serta keterampilan inkuiri. Memiliki pengetahuan yang fundamental tentang IPA adalah sangat esensial untuk membangun manusia yang literasi sains. Individu yang literasi sains memiliki kemampuan untuk menggunakan aspek-aspek fundamental IPA dalam memecahkan masalah dan dalam mengambil keputusan.
Pendidikan IPA pada hakekatnya tidak hanya ditujukan untuk membekali subjek didik dengan pengetahuan dan keterampilan proses IPA, tetapi juga untuk menanamkan sikap dan nilai-nilai. Jadi, pendidikan IPA dapat digunakan sebagai wahana transformasi nilai-nilai yang selama masih kurang dapat perhatian para guru IPA. Dengan demikian, pada hakekatnya pendidikan IPA sangat efektif untuk digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan ketiga domain tujuan pendidikan yaitu kognitif, psikomotor, dan afektif.

2.    Kepemimpinan dan Prinsip-prinsip Kepemimpinan
Pemimpin (leader) dan kepemimpinan (leadership) merupakan suatu kesatuan kata yang tidak dapat dipisahkan baik secara structural maupun secara fungsional. Kepemimpinan tampaknya lebih merupakan suatu konsep yang didasarkan atas pengalaman. Di dalam kepemimpinan selalu terdapat pemimpin yang mempengaruhi tingkah laku anggota kelompoknya atau pengikutnya.
Ada beberapa konsep atau batasan tentang kepemimpinan antara lain :
1)    Kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai suatu kepribadian (personality) seseorang yang dapat menumbuhkan keinginan anggota kelompoknya untuk mencontohnya atau mengikutinya.
2)    Kepemimpinan adalah suatu seni (art), kesanggupan (ability), atau teknik untuk membuat sekelompok orang-orang (bawahan dalam organisasi formal atau simpatisan dalam organisasi nonformal) mengikuti atau mentaati segala apa yang dikehendakinya, membuat mereka demikian atusias untuk mengikutinya, dan bahkan ada yang sanggup berkorban.
3)    Kepemimpinan dapat pula dipandang sebagai suatu bentuk persuasi, suatu seni pembinaan sekelompok orang-orang tertentu, biasanya melalui “human relations” dan motivasi yang tepat, sehingga mereka tanpa adanya rasa takut mau bekerjasama untuk mencapai tujuan (M. Karjadi, 1983 : 2-3).
Dalam forum ini kita tidak perlu terbelenggu dengan definisi-definisi kepemimpinan. Yang perlu lebih dicermati adalah deskripsi tingkah laku pemimpin dan prinsip-prinsip kepemimpinan, yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam mengidealisasi pemimpim masa depan.
Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam mendeskripsikan tingkah laku seorang pemimpin yang disebut leadership traits, antara lain adalah :
1)    Keadaan fisik
2)    Kecerdasan
3)    Kepercayaan diri
4)    Penyesuaian diri
5)    Kemauan, yang meliputi inisiatif dan ambisi
6)    Kepribadian yang penuh optimis
7)    Keterbukaan
8)    Sifat partisipasi sosial (Mar’at, 1983 : 46-47)
Ki Hajar Dewantara telah meletakkan landasan filosofi perilaku seorang pemimpin yang masih tetap kita gunakan sampai saat ini yaitu :
1)    Ing ngarso sung tulodo (Di muka memberi teladan)
Artinya, seorang pemimpin harus mampu – lewat sikap dna perbuatannya – menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan orang-orang yang dipimpinnya.
2)    Ing madya mangun karso (Di tengah membangun semangat)
Artinya, seorang pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang-orang yang dibimbingnya, dan
3)    Tut wuri handayani (Dari belakang memberi dorongan)
Artinya, seorang pemimpin harus mampu mendorong orang-orang yang diasuhnya agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
Ketiga landasan di atas merupakan prinsip utama kepemimpinan Pancasila (Buku materi Pelengkap Penataran P4).
J.H. Carter (dalam Mar’at, 1983 : 47) mengemukakan ciri-ciri tingkah laku kepemimpinan sebagai berikut :
1)    Performing professional and technical specialty;
2)    Knowing subordinates and showing consideration for them;
3)    Keeping channels of communication open.:
4)    Accepting personal  responsibly and setting and example;
5)    Iminiationg and directing action
6)    Training en as team;
7)    Making decision.
Prinsip-prinsip kepemimpinan di atas merupakan traits of personality. Untuk itu, seorang pemimpin harus memenuhi persyaratan-persyaratan yaitu : 1) taqwa dan beriman, 2) jujur, 3) memiliki pengetahuan yang cukup, 4) berani mengambil resiko, 5) tegas, 6) berinisiatif, 7) bijaksana, 8) bersikap adil, 9) memiliki gairah dan semangat kerja, 10) ulet, 11) tidak mementingkan diri sendiri, 12) setia, 13) berwibawa, 14) mampu mengambil keputusan, 15) memiliki rasa percaya diri, dan 16) memiliki visi ke depan.

3.    Kontribusi Pendidikan IPA Terhadap Pembentukan Sikap Kepemimpinan
Berdasarkan pemahaman kita terhadap hakekat IPA dan hakekat pendidikan IPA, serta metodologi pembelajaran IPA, maka dapat disimak aspek-aspek dan substansi pendidikan IPA yang akan berkontribusi terhadap pembentukan sikap kepemimpinan.
1)    Tinjauan dari aspek fungsi dan tujuan pendidikan IPA
Pendidikan IPA berfungsi untuk memberikan pengetahuan tentang lingkungan alam, mengembangkan keterampilan, wawasan dan kesadaran teknologi yang berkaitan dengan pemanfaatannya bagi kehidupan sehari-hari dan prasyarat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, serta peningkatan kesadaran t erhadap kebesaran dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa>
Secara rinci, tujuan pendidikan IPA adalah :
(1)    Meningkatkan kesadaran akan kelestarian lingkungan, kebanggaan nasional, dan kebesaran serta kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa;
(2)    Memahami konseo-konsep IPA dan saling keterkaitannya;
(3)    Mengembangkan daya penalaran untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari
(4)    Mengembangkan keterampilan proses untuk memperoleh konsep-konsep IPA dan menumbuhkan nilai dan sikap ilmiah;
(5)    Menerapkan konsep dan prinsip IPA untuk menghasilkan karya teknologi sederhana yang berkaitan dengan kebutuhan manusia;
(6)    Memberikan bekal pengetahuan dasar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
(Depdikbud, GBPP Kurikulum 1994).
Ditinjau dari aspek fungsi dan tujuan pendidikan IPA, tampak bahwa pendidikan IPA akan memberi kontribusi terhadap beberapa aspek kepemimpinan seperti taqwa, berpengetahuan, peduli lingkungan, daya penalaran, nilai dan sikap ilmiah.

2)    Tinjauan dari aspek IPA sebagai produk dan IPA sebagai proses
IPA sebagai produk akan memberi kontribusi terhadap aspek kepemilikan pengetahuan yang merupakan dasar bagi profesionalisme bagi seorang pemimpin. Sedangkan IPA sebagai proses akan memberi kontribusi yang lebih banyak bagi pembentukan sikap kepemimpinan seperti sikap jujur, objektif, inisiatif, ulet, dan sikap keterbukaan. Penekanan terhadap IPA sebagai proses dalam pembelajaran IPA, akan banyak memberi kontribusi bagi pembentukan sikap kepemimpinan.

3)    Tinjauan dari aspek metodologi pembelajaran IPA
Ada beberapa pendekatan pembelajaran IPA yang akan dapat memberi kontribusi bagi pembentukan sikap kepemimpinan. Pendekatan-pendekatan itu antara lain sebagai berikut:
1.    Pendekatan Discovery/Inquiry
Pembelajaran IPA melalui pendekatan discovery/inquiry akan memberikan beberapa keuntungan, diantaranya adalah:
a)    Pembelajaran menjadi berpusat pada siswa (student centered);
b)    Membangun konsep diri (self concept) siswa;
c)    Tingkat penghargaan (expectancy) siswa bertambah;
d)    Mengembangkan bakat dan kecakapan individu; dan
e)    Menghindarkan siswa dari cara belajar menghafal (Sund, 1975 : 101)
Keunggulan pendekatan discovery/inquiry pada butir b) yaitu membangun konsep diri (self concept) siswa,  akan memberikan kontribusi bagi pembentukan kepribadian seorang pemimping. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa seorang pemimpin dipersyaratkan memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan sikap terbuka. Kedua aspek kepemimpinan ini dapat dibangun melalui pembelajaran IPA dengan pendekatan discovery/inquiry.
Proses pembelajaran dengan pendekatan discovery/inquiry dapat membentuk dan mengembangkan konsep diri siswa. Setiap siswa memiliki konsep diri. Jika konsep diri siswa tinggi, maka secara psikologis mereka akan merasa aman, terbuka terhadap pengalaman baru, lebih kreatif, dan pada umumnya memiliki mental yang sehat. Pembentukan konsep diri sangat diperlukan dalam upaya pembentukan manusia seutuhnya. Jalur menuju pembentukan manusia seutuhnya dapat digambarkan sebagai berikut.


Menghasilkan pembentukan
manusia seutuhnya

Membentuk dan mengembangkan
konsep diri

Manifestasi potensi manusia

Keterlibatan dalam proses-proses
discovery/inquiry

Gambar 2. Jalur Pembentukan Manusia Seutuhnya (Amin, 1975 : 10)

2.    Pendekatan Keterampilan Proses
Kemampuan-kemampuan atau keterampilan-keterampilan yang dapat dikembangkan melalui pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran IPA antara lain :
a)    Mengobservasi atau mengamati (termasuk di dalamnya : mengukur, menghitung, mengklasifikasi, mencari hubungan ruang/waktu;
b)    Membuat hipotesis;
c)    Merencanakan penelitian;
d)    Mengendalaikan variabel;
e)    Menginterpretasi atau menafsirkan data;
f)    Melakukan inferensi (kesimpulan sementara);
g)    Memprediksi;
h)    Mengaplikasi;
i)    Mengkomunikasikan (Cony Semiawan, 1985 : 17-18).
Butir-butir kemampuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui pembelajaran IPA dengan pendekatan keterampilan proses, akan memberi kontribusi bagi pembentukan terhadap beberapa aspek kepemimpinan, seperti sikap objektif, teliti, kreatif, ulet, antisipatif, prediktif, dan sebagainya.
3.    Pendekatan Kontruktivisme
Dalam model belajar dengan pendekatan konstruktivisme, siswa itu sendiri yang aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang telah ada pada dirinya. guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan mengajar lebih terfokus pada “suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman mereka”, dan bukan pada “kebenaran siswa dalam melakukan replikasi atas apa yang dikerjakan guru”. sebagai implikasi dari konseptualisasi ini, pembelajar hendaknya tidka dipandang sebagai penerima pasif dari suatu program instructional, tetapi harus dilihat sebagai bagian yang aktif dan bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya.  Mengajar bukan hanya proses transmisi pengetahuan, tetapi lebih merupakan proses negosiasi makna. Dalam menjalankan fungsinya  sebagai fasilitator atau mediator pembelajaran, pada saat munculnya miskonsepsi siswa, guru menyajikan konflik kognitif sehingga terjadi ketidakseimbangan (disekuilibrasi) pada diri siswa. Konflik kognitif yang disajikan guru diharapkan dapat menyadarkan siswa akan kekeliruan konsepsinya, dan pada akhirnya mereka akan merekonstruksi konsepsinya menuju konsepsi ilmiah.
Dari uraian di atas, ada empat aspek penting yang dapat disumbangkan bagi pembentukan kepribadian seorang pemimpin, yaitu: kemampuan mengorganisasi pengalaman, sikap tanggung jawab, kemampuan negosiasi, dan sikap introspeksi diri.

4.    Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (STM)
Pendekatan STM dalam pembelajaran IPA merupakan proses pembelajaran IPA dalam konteks pengalaman manusia, dengan ciri-ciri khusus sebagai berikut:
a)    Siswa mengidentifikasi masalah-masalah dan isu sosial dan teknologi di daerahnya serta dampaknya;
b)    Menggunakan sumber lokal untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah;
c)    Keterlibatan siswa secara aktif dalam mencari informasi dapat digunakan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata;
d)    Perluasan terjadinya proses belajar yang melampaui waktu, kelas, dan sekolah;
e)    Memusatkan pengaruh sains dan teknologi pada siswa;
f)    Pandangan bahwa materi subjek lebih dari sekedar konsep yang harus dikuasai;
g)    Penekanan pada keterampilan proses yang dapat digunakan siswa dalam memecahkan masalah;
h)    Penekanan terhadap kesadaran karir, terutama karir yang berhubungan dengan sains dan teknologi;
i)    Memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan sebagai warga masyarakat; jika telah dapat mengatasi isu yang telah diidentifikasinya;
j)    Indentifikasi cara-cara yang memungkinkan sains dan teknologi memecahkan masalah di masa depan;
k)    Perwujudan otonomi dalam proses belajar sebagai isu individu;
l)    Memberi peluang kepada siswa untuk berfungsi sebagai “pengambil keputusan” (decision maker).
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran IPA dengan pendekatan STM, tampak bahwa beberapa aspek kepemimpinan dapat ditumbuh kembangkan.
Kemampuan dan keterampilan mengidentifikasi masalah dan isu-isu sosial dan teknologi merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Demikian pula, kemampuan dan keterampilan mencari dan menggunakan informasi untuk memecahkan masalah yang dikembangkan melalui proses pembelajaran IPA dengan pendekatan STM, akan memberi kontribusi yang besar bagi eksistensi seorang pemimpin, terutama bagi pemimpin masa kini dan masa datang. Dalam era globalisasi informasi dewasa ini, maka siapa yang menguasai informasi dan mampu menggunakannya akan unggul.
Kemampuan dan keterampilan mengidentifikasi cara-cara yang memungkinkan sains dan teknologi memecahkan masalah di masa depan, yang dikembangkan melalui pendekatan STM, juga merupakan aspek yang penting bagi seorang pemimpin, khususnya pemimpin di masa depan. Satu kemampuan yang sangat penting dikembangkan melalui pendekatan STM adalah kemampuan siswa sebagai “pengambil keputusan” (decision maker). Kemampuan ini tidak dapat ditawar dan harus dimiliki oleh seorang pemimpin.

DAFTAR PUSTAKA

Amien, Moh. (1987). Mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Dengan Metode Discovery dan Inquiry. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

_______. (1979). Apakah Metode Discovery dan Inquiry itu? Yogyakarta: FKIE IKIP Yogyakarta.

Bodner, George M. (1986). Constructivism : A Theory of Knowledge. Journal of Chemical Education. Vol. 63. No. 10.

Conny Semiawan, dkk. (1985). Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta:                      PT. Gramedia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1993). Kurikulum Pendidikan Dasar. Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

Hungerford, Harold R., et al. (1990). Science-Technology-Society: Investigating and Evaluating STS Issues and Solutions. Illinois: Stipes Publishing Company.

Karjadi, M. (1983). Kepemimpinan (Leadership). Bandung: PT. Karya Nusantara.

Sund, Robert. B., and Trowbidge Leslie, W. (1973). Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. Ohio: Charles E. Merril Publishing Company.

Yager, Robert E. (1996). Science/Technology/Society, as A Reform in Science Education. New York: State University of New York Press.

Mar’at. (1985). Pemimpin dan Kepemimpinan